Pagi itu suasana kediaman keluarga cemara yang kita idam-idamkan penuh keriwehan. Sejak subuh tadi, suara-suara kecil mulai berseliweran di antara dinding-dinding rumah. Lionel, yang biasanya paling susah bangun pagi, hari itu entah kenapa malah sudah lebih dulu duduk di meja makan, mengayunkan kakinya yang masih pendek sambil menyantap roti dengan penuh semangat. Hari itu memang istimewa, hari pertama Lionel masuk sekolah.
Di sisi lain, Gama sibuk mondar-mandir sendiri. Dia celingak-celinguk memastikan semua siap, kadang ke kamar mandi, kadang ke meja makan, kadang juga mendekati Lionel sambil menggoda adeknya, “Dek, kalo jadi anak sekolahan kan nanti dikasih banyak PR terus nggak bisa main deh YHAHAHAHA!” Ledek Gama puas. Nyebelin banget emang.
Lionel menatap kakaknya, sedikit bingung tapi tetap bersemangat. "PR apaan?" tanya Lionel polos.
Gama cuma terkekeh, senang bisa bikin adeknya sedikit bingung.
Kafka yang sedang mempersiapkan bekal di dapur sambil sesekali mengawasi dari jauh, ikut tersenyum melihat kedua anaknya. Tapi, di balik senyum itu, ada rasa haru yang mulai muncul. Lionel sudah besar. Walaupun ia nggak benar-benar mengikuti tumbuh kembang Lionel dari baru lahir, tapi rasa haru bangga pun tetap ada.
Jerome muncul dari kamar dengan rambut yang masih acak-acakan. "Ini rumah kok udah rame banget pagi-pagi?" tanyanya sambil menguap lebar. Jerome memandang Lionel yang sudah duduk dengan tenang di kursi meja makan. “Hebat banget nggak rewel dibangunin pagi-pagi. Dadda kalah nih, bangunnya belakangan," ujar Jerome sambil mencium kening Lionel.
Kafka, yang dari tadi masih sibuk sendiri di dapur, tiba-tiba keluar dengan membawa tas sekolah Lionel. "Iya doooong, aku, kan, mau semangat sekolah, Dadda." Kafka jawab dengan gaya bicara imut seolah-olah mengimpersonasi anaknya.
Momen itu makin ramai waktu Gama mulai bercanda dengan Jerome, “Dad, nanti kalo di sekolah jangan nangis ya, kalo nangis aku pulangnya naik ojol.”
Jerome tertawa lepas, "Wkwkwk nggak bakal nangis. Coba nanti liat aja siapa yang beneran nangis."
Kafka hanya tersenyum sambil melirik tajam ke arah Jerome, merasa sedikit tersindir karena dia tahu siapa yang mungkin akan lebih emosional nanti.
Akhirnya, mereka semua berangkat bersama-sama ke sekolah Lionel. Perjalanan menuju sekolah itu penuh canda tawa. Gama terus mengobrol dengan Lionel, mengajarinya hal-hal sepele tapi penting menurutnya, seperti cara berteman dan cara meminta izin ke toilet. Lionel mendengarkan serius meskipun sesekali bingung.
Setibanya di sekolah, suasana berubah. Suara riuh anak-anak yang juga bersiap untuk hari pertama mereka memenuhi halaman sekolah. Lionel terlihat sedikit tertegun di depan gerbang. Ia menatap keramaian dengan mata berbinar, tapi di balik keceriaannya, ada sedikit rasa gugup yang bisa dilihat dari cara dia memegang erat tangan Jerome.
“Udah siap sekolah belom kamu?” tanya Jerome lembut.
Lionel mengangguk pelan, meskipun masih terlihat sedikit ragu.
Kafka yang dari tadi terlihat tenang, tiba-tiba merasa sesak di dada. Melihat Lionel berdiri di depan gerbang sekolah dengan seragam kecilnya, matanya mulai berair tanpa bisa ditahan. Dia cepat-cepat mengusapnya, berusaha menyembunyikan dari yang lain.
Tapi Jerome nggak bisa menahan diri untuk menggoda. “Tuh, tuh, Gam, Didinya namgis duluan, kan?”
Kafka tertawa kecil sambil menyeka air matanya, “Kelilipam debuuuu.”
Gama ikut nimbrung, "Debu? Banyak banget debunya ya di sekolah ini, sampe bikin nangis gitu masa?" Gama semakin bersekongkol dengan Jerome untuk tetap menggoda Didinya yang sudah diselimuti perasaan emotional.
Mereka semua tertawa, sementara Lionel masih memegang erat tangan Jerome. "Kok Didi nangis?" tanya Lionel polos.
Kafka segera jongkok dan memeluk Lionel, "Didi nggak nangis, Boooy. Yang pinter ya belajarnya.." ia usap-usap pundak kecil anaknya.
Lionel hanya mengangguk, belum benar-benar mengerti apa yang terjadi. Tapi dia merasakan kasih sayang itu, dan itu sudah cukup buatnya. Kafka, Jerome, dan Gama akhirnya melepas Lionel masuk ke kelasnya.
Waktu Lionel berbalik dan melambai dengan senyuman kecilnya, Kafka kembali merasa air matanya hampir keluar lagi. Jerome cepat-cepat merangkulnya, mencoba menenangkan. Gama di samping mereka pun ikut melihat ke arah Lionel yang semakin jauh, lalu menambahkan dengan nada jahil, “Akhirnya jadi anak semata wayang lagi walaupun cuma 3 jam perhari."
Jerome dan Kafka hanya tertawa mendengar kelakar Gama. Pagi itu, walaupun penuh keriwehan, namun tetap menjadi momen manis bagi keluarga mereka, hari di mana Lionel memulai perjalanan baru sebagai seorang murid, dan Kafka yang belajar melepaskan anaknya untuk tumbuh dengan penuh cinta.