Jerome menutup pintu kamar mandi rapat-rapat. Ia bertumpu tangan di wastafel sambil merenungi bagaimana ia memperlakukan Kafka belakangan ini.
Jerome itu, belum bisa semengerti Kafka.
Jerome itu, belum bisa sepaham Kafka.
Jerome itu, selama hidupnya sudah terbiasa menjadi satu-satunya yang paling dimengerti di rumahnya sampai ia lupa belajar tentang bagaimana cara mengerti dan memahami orang lain. Ia pikir, dengan nggak membicarakan hal ini ke Kafka dalam waktu dekat, udah jadi yang paling mengerti dan memahami Kafka. Tapi, ternyata salah.
Harusnya dari awal pikiran soal adopsi anak menghantui isi kepalanya, bisa langsung dibicarakan baik-baik ke Kafka, tapi ia lebih pilih diam dan pura-pura sok mengerti dan paham akan suasana yang menurutnya belum tepat waktu untuk membicarakan perihal ini. Ujung-ujungnya, malah jadi stres sendiri, pusing sendiri, semua kerungsingan ditanggung sendiri.
Sekarang, tinggalah Jerome yang menatap dirinya sendiri dengan penuh emosi pada cermin di hadapannya. Ia biarkan keran air di wastafel deras menyala untuk meredam suara rintihannya. Dan, perlahan ambil langkah mundur untuk mendudukan dirinya di kloset.
Bendungan air mata pun akhirnya pecah juga.
Semua jenis perasaan seolah diaduk jadi satu di dalam satu kuali besar.
Ia marah dan kecewa sama dirinya sendiri.
Ia kesal, kenapa dirinya ini masih perlu dibimbing untuk mengerti dan paham?