Lomba Kangen-Kangenan

Dec 31, 2024

Sudah memasuki penghujung semester awal, dan setiap hari yang dilalui terasa begitu cepat sejak Yicel memutuskan untuk melanjutkan studi di kota orang. Waktu Jogja bagian Umbulharjo, dengan segala kehangatan dan keunikan budayanya, kini telah menjadi rumah kedua baginya. Sejak pertama kali menginjakkan kaki di kota ini, ada perasaan campur aduk—antara kecemasan dan harapan yang berselimut di setiap langkahnya. Namun, lambat laun, kota ini memberikan lebih dari sekadar kata indah. Karena di sinilah ia kembali dipertemukan dengan Bhumi.

Hubungan mereka berkembang dengan sangat baik di setiap pertambahan waktunya. Dari pertemuan-pertemuan yang awalnya hanya sekadar saling melengkapi yang lagi membutuhkan, kini perbincangan mereka semakin meluas ke berbagai topik sampai keresahan-keresahan pribadi yang selama ini mungkin nggak pernah mereka sampaikan kepada siapa pun.

Setiap akhir pekan, mereka selalu menyisihkan waktu untuk bersama seperti; pergi ke toko buku, pergi ke tempat makanan viral di pusat kota, mendiskusikan isu terkini yang menyapa laman beranda sosial medial Yicel, atau hanya menghabiskan waktu berdua untuk membaca buku masing-masing tanpa adanya percakapan. Ada kalanya, mereka merasa cukup hanya dengan adanya kehadiran satu sama lain, sebuah eksistensi yang memberi rasa tenang, saling memberi ruang tanpa perlu banyak yang diucapkan.

Namun, di lain waktu, mereka juga bisa terlibat dalam percakapan panjang yang melibatkan ribuan hal konyol dan terdengar nggak penting. Yicel sering kali menjadi penggerak utama dalam membicarakan segala hal—dari cerita-cerita lucu, kejadian aneh yang dialami, sampai obrolan ringan yang bisa berujung tawa tanpa henti.

Hal yang menguntungkan adalah, Bhumi selalu menyambut setiap percakapan tersebut dengan senang hati, meskipun terkadang topik yang dibicarakan mungkin terdengar konyol atau bahkan nggak berarti sama sekali. Dia sangat menghargai dan sangat menikmati setiap detik yang dihabiskan bersama Yicel. Seolah memang mereka menciptakan ruang yang aman untuk diri mereka sendiri, di mana mereka bisa menjadi siapa pun tanpa harus berpura-pura.

Semenjak Eyang pulih dan kembali ke rumah, Yicel jadi sering mampir ke rumah Eyang, bahkan di siang hari saat Bhumi sedang bekerja. Bagi Yicel, bertemu Eyang adalah kesempatan belajar banyak hal baru, sementara bertemu Bhumi hanyalah bonus. Rumah Eyang lolos menjadi tempat nyaman sewaktu suntuk dan merasa bosan jikalau hanya berdiam diri di indekosnya, dan berbincang dengan Eyang juga selalu meninggalkan kesan yang menyenangkan baginya.

Hari ini, setelah menyelesaikan kelasnya, Yicel kembali ke rumah Eyang untuk memenuhi janji belajar menjahit. Beberapa hari lalu, Eyang menanyakan soal robekan kecil di lengan bajunya.

"Ndang, ini bajumu sobek? Kok ndak dijahit?" tanya Eyang sambil menunjuk lengan baju Yicel.

Yicel tertawa kecil sambil menyentuh robekan itu. “Belum bisa jahit, Eyangggg,” jawab Yicel sambil merengek manja. “Kapan-kapan ajarin aku jahit yaa.”

Eyang hanya mengangguk sambil tersenyum, dan hari ini janji itu ditepati. Kini ia duduk di ruang tengah dengan jarum dan benang di tangan, menyimak dengan serius instruksi Eyang tentang bagaimana cara menjahit pakaian yang benar. Tangannya mengikuti gerakan Eyang perlahan-lahan.

“Coba yang ini dulu, Mas Yicel. Masukkan benang ke jarum pelan-pelan, terus simpulkan di ujungnya kayak gini," Eyang tunjukkan hasil simpul benangnya ke Yicel. "Habis itu, ditarik pelan-pelan, supaya ndak kusut kayak mukanya Mas Bhumi waktu pulang kerja,” jelas Eyang diiringi sedikit guyon.

"Hahahaha," tawa Yicel hampir memenuhi seisi ruang tengah rumah Eyang. Yicel mengangguk, mengikuti arahan dengan penuh konsentrasi. Setelah beberapa kali mencoba, akhirnya ia berhasil menjahit garis lurus pertamanya. Ia mendongak, wajahnya penuh kepuasan. “Eyang, aku bisa!” serunya.

Eyang tersenyum kecil, matanya penuh kebanggaan. “Nah, kalo sering latihan, nanti makin apik hasil jahitannya.”

Waktu terasa berlalu begitu cepat. Langit di luar mulai menjingga, dan suara pintu depan terdengar terbuka. Bhumi baru pulang kerja, menenteng tasnya dengan langkah lelah namun rasa lelah itu hilang seketika waktu lihat Yicel di ruang tengah.

“Lagi apa?” tanyanya, sambil melepas tas dan mendekat.

“Lagi belajar jahit,” jawab Yicel tanpa menoleh, fokus pada tugasnya.

Bhumi tersenyum kecil. Lucu melihat wajah serius Yicel. "Tadi selesai kuliah langsung ke sini?"

Pertanyaan itu hanya dijawab anggukan singkat oleh Yicel. “Bentar ya, Mas. Ini jahitanku tinggal sedikit lagi,” jawabnya tanpa menoleh, masih sibuk merapikan jahitannya. Dan, ntah sejak kapan dia memulai panggilan aku-kamu ke yang lebih tua.

Bhumi berdiri di belakang Yicel, lalu mengusap lembut surai hitam yang lebih muda. “Nggak apa-apa, dilanjut aja. Saya mandi dulu ya.”

Setelah selesai, Yicel menyusul Bhumi ke kamarnya.

Di sana Bhumi sudah duduk di pinggir kasur dengan ponsel di tangannya. Begitu melihat Yicel masuk, ia langsung menaruh ponselnya dan menepuk tempat di sebelahnya. "Sini."

“Udah selesai jahitnya?” tanya Bhumi.

“Udaaaahh! Mas, aku sekarang udah bisa jahit!” jawab Yicel antusias, duduk di sampingnya.

“Kalo baju saya ada yang sobek, tinggal kasih kamu aja, ya, kalo gitu.”

Yicel menyeringai. “Boleh banget boleeeh. Tapi bayarannya pancong lumer sama teh tarik, ya.”

Bhumi tertawa kecil, lalu menatapnya lekat. “Hari ini lebih seru dari kemarin apa tetep yang kemarin juaranya?”

“Lebih seruuuuu, soalnya sekarang aku udah bisa jahit,” jawab Yicel dengan antusias sampai matanya berbinar-binar.

“Keren dong?”

“Iya kan? Aku keren kan?” Yicel menyeringai bangga atas pencapaiannya sendiri.

Bhumi menangguk. Ia nggak tahan untuk kembali mengusap rambut Yicel. “Iya, keren,” katanya sebelum kembali mengalihkan atensinya ke ponsel.

Melihat Bhumi begitu serius, Yicel jadi penasaran. Ia perhatikan ponsel yang dipegang Bhumi, rasa ingin tahunya nggak bisa ditahan. "Kenapa, Mas? Si Bayu Bayu itu berulah lagi kah?" Saking seringnya dicurhati tentang masalah senior Bhumi yang selalu merasa tersaingi semenjak kehadiran Bhumi diterima di tim kerjanya, Yicel jadi mulai sedikit paham problematika sepele orang dewasa egois yang dibesar-besarkan.

Bhumi tersenyum mendengar prasangka Yicel yang asal tembak gitu aja, "Bukan." Ia menoleh, menimbang-nimbang sebelum melanjutkan perkataannya. “Kamu liburan semester besok pulang ke Jakarta?” tanyanya pelan.

Yicel mengerutkan dahi. “Nggak tau, tapi kayaknya nggak, soalnya Ayah bilang mau ke sini.”

Bhumi tampak berpikir, sebelum akhirnya menghela napas. “Bulan depan saya wisuda.”

“Oh iya!? Resmi lulus dong ya berarti!?” potong Yicel antusias dengan senyum lebarnya.

Bhumi tersenyum tipis, namun raut wajahnya menunjukkan ada hal lain yang ingin ia sampaikan. “Tapi saya juga dapat kontrak kerja di Jakarta. Enam bulan.”

Kebahagiaan Yicel seketika memudar. Ia terdiam, menunduk, mencoba menyembunyikan perubahan ekspresinya. “Oh…” hanya itu yang keluar dari mulutnya. Ia mencoba mencerna kabar itu. Enam bulan tanpa Bhumi terdengar seperti waktu yang lama. Tapi mau bagaimana lagi?

Menyadari perubahan itu, perlahan Bhumi mendekat untuk rangkul bahunya, lalu mengusapnya lembut. “Tapi saya masih bisa sering pulang kok. Nanti kalau ada waktu, saya ke sini.” katanya mencoba menenangkan.

Yicel menghela napas panjang. “Selamat ya, Mas. Semoga lancar semuanya,” ucapnya pelan, mencoba tersenyum meski terlihat dipaksakan.

Waktu Yicel hendak berdiri, Bhumi menahan tangannya. Ia tarik Yicel mendekat, melingkarkan lengannya di pinggang yang lebih muda.

Yicel membeku. Ia nggak terbiasa dengan Bhumi yang seperti ini. Atau bisa dibilang ini pertama kalinya Bhumi menunjukkan sisi manja di depannya. “Kenapaaa?” tanyanya agak kikuk, dengan nada yang sedikit diayun sebagai isyarat kalau Bhumi nggak perlu khawatir karena semuanya akan baik-baik saja sekali pun mereka berdua nggak menghirup udara di langit yang sama.

Alih-alih menjawab, Bhumi malah menjatuhkan kepalanya di bahu Yicel, menarik napas panjang sebelum bilang, “Tetep kabarin saya terus ya nanti? Kalo saya balesnya lama, telfon duluan aja, ya?”

“Iyaaa, lagian aku nggak bakal kenapa-kenapa. Aman aja, Mas.” Yicel usap tangan Bhumi yang melingkar di pinggangnya.

Bhumi mendongak, menatapnya dalam. “Saya yang bakal kenapa-kenapa kalo nggak ada kabar dari kamu.”

Yicel terkekeh, perutnya merasa geli mendengarnya. Ia mengusap pelan tangan Bhumi yang masih melingkar di pinggangnya. "Mau lomba nggak, Mas?" Tiba-tiba ide konyol muncul di otaknya.

Yang ditanya sedikit menjauhkan jarak tanpa melepas pelukan. Ia jelas bingung dengan ajakan perlombaan yang mendadak seperti ini. "Lomba apa?" tanyanya dengan mengerutkan dahi.

Yicel tampak berpikir sebentar. Berpikir bagaimana cara menjelaskan permainan yang ia ciptakan sendiri itu kepada pasangan yang masih belum punya status itu. "Setiap kita kangen satu sama lain, ketik angka 1 di notes hp. Nanti yang angka 1 nya paling banyak, dia yang kalah. Mau nggak?"

"Saya pasti kalah kalo kayak gitu caranya." Keluh Bhumi yang langsung menyerah bahkan di saat permainan belum dimulai.

Yicel yang mendengar itu pun terlonjak kaget. "Dihh, apaan sih???? Belom juga mulai udah mau ngalah aja." Sebenernya agak salah tingkah sedikit mengetahui fakta bahwa dirinya akan sebegitu dirindukan oleh lelaki di hadapannya.

"Kalo menang dapet apa? Kalo kalah hukumannya apa?" Pertanyaan itu tiba-tiba dilontarkan oleh yang lebih tua.

"Belom tau, aku belom kepikiran."

Bhumi tampak berpikir sejenak sebelum kembali bersuara. "Gini aja,"

Yicel tatap lekat obsidian Bhumi, bersiap mendengarkan sarannya yang mudah-mudahan bisa ia terima dengan lapang dada.

"Kalo kamu kalah, hukumannya kamu jadi pacar saya. Kal"

"IHHH! APAAN!??"

Bhumi cekikikan melihat reaksi Yicel barusan. "Sebentar dulu, saya belum selesai."

Yang lebih muda pun akhirnya mengalah dan kembali mendengarkan bualan Bhumi dengan (pura-pura) seksama.

"Nih, kalo kamu kalah, hukumannya kamu harus cium saya. Kalo kamu menang, nanti hadiahnya jadi pacar saya, begitu pun sebaliknya. Deal nggak?" Bhumi julurkan satu tanggannya di hadapan Yicel dan menunggu jabatan tangannya ditanggapi oleh yang lebih muda.

Tawaran keduanya sama-sama menarik di mata Yicel. Sama-sama nggak ada yang buruk. Alias, ditantang seperti itu, siapa takut? "Deal," ia balas jabat tangan Bhumi dengan mantap. Tiba-tiba tekatnya bulat untuk memenangkan perlombaan ini.Toh, memang sudah seharusnya hubungan mereka berdua ini diberi status bukan?

"Nggak boleh curang ya, Mas."

"Emang bisa curang?"

"Yaa, kalo kangen beneran, jangan disengaja-ngajain nggak diitung gitu maksudnya!" jawabnya rada kesal.

Bhumi kembali mendekap Yicel yang emosinya masih tersulut sebab dirinya yang penuh akan perngeyelan itu.

Sore itu berlalu dalam kebersamaan yang rasanya tak ingin mereka akhiri, seperti halaman terakhir dari sebuah buku yang terlalu indah untuk ditutup. Dan meskipun jarak yang mungkin akan hadir di antara mereka, keduanya percaya bahwa rasa yang saling terikat itu nggak pernah benar-benar pergi, hanya menunggu untuk kembali, sekuat tekad mereka menjaga janji-janji kecil di antara tawa dan percakapan tanpa akhir di bawah langit jingga yang sudah semakin memerah tanda matahari sebentar lagi akan digantikan oleh bulan.