Setelah acara expo campus di sekolah selesai, Yicel buru-buru melangkah ke kafe Bhumi. Hatinya agak berdebar-debar karena selama acara expo tadi, ada satu hal yang terus mengganggu pikirannya. Pikirannya terus berputar pada Bhumi — seseorang yang belakangan ini jadi pusat dunianya. Apa yang Bhumi titipin ke Praya buat dia? Yicel penasaran setengah mati.
Begitu masuk kafe, Yicel langsung melihat Praya yang lagi beres-beres di belakang kasir. Dia datengin Praya. Dengan senyum yang sedikit gugup dia bilang, “Mas Praya, saya mau ambil titipan dari Mas Bhumi.”
Praya mengangguk, lalu mengambil amplop yang sudah disiapkan. “Ini, Cel. Cuma satu amplop aja, tapi kayaknya penting.” Ucapnya sambil menyerahkan sebuah amplop yang tertutup rapat. Nggak ada tanda-tanda di luar amplop itu. Cuma amplop putih biasa.
Yicel menerima amplop itu. Amplopnya tertutup rapat, di lem dengan perekat bawaan amplop. “Mas, saya duduk bentar di sini ya, penasaran banget sama isinya,” kata Yicel, meminta izin.
Praya mengangguk pelan, lalu kembali ke meja kasir.
Seperti biasa, Yicel memilih tempat duduk di pojok kafe, yang agak sepi dari pengunjung. Tangannya gemetar sedikit waktu coba buka amplop itu. Jantungnya berdetak kencang. Di dalamnya ada dua lembar kertas yang penuh dengan tulisan tangan Bhumi. Waktu melihat tulisan itu, Yicel terdiam sesaat, hatinya mendadak terasa penuh. Dia nggak mau buru-buru. Setiap kata yang tertulis dibaca dengan seksama, dipahami dengan hati-hati, dan nggak ada satu kata pun yang dia lewatin.
Semakin lama membaca, perasaannya semakin campur aduk. Antara kaget, senang, dan sedih. Setiap kalimat yang ditulis Bhumi seperti sebuah letusan emosi yang nggak terduga. Yicel tertegun waktu membaca isi suratnya. Waktu sampai di bagian akhir surat, Yicel nggak bisa menahan air matanya lagi. Dia menangis pelan, nggak peduli dengan sekelilingnya.
Namun, yang bikin dia semakin merinding adalah tanda tangan di bagian bawah halaman kedua. Tanda tangan itu… Dia merasa sangat familiar dengan tanda tangan itu. Tiba-tiba, dia masih nggak percaya dan mencoba untuk nggak terlalu berharap.
Dengan cepat, Yicel meraih ponselnya dan membuka aplikasi X. Dengan tangan yang gemetar nggak karuan, dia ketik di kolom pencarian, “WTP novel Aygi Mamoru.” Hasil pencarian menunjukkan banyak postingan gambar yang memperlihatkan novel-novel karya Aygi Mamoru yang ditandatangani. Yicel memperbesar gambar-gambar tanda tangan Aygi Mamoru yang ada di beberapa postingan. Dia bandingkan tanda tangan itu dengan yang ada di surat Bhumi. Mirip. Bukan cuma mirip, tapi sama PERSIS.
Setelah yakin tanda tangan itu identik, Yicel terperanjat. Dia bangkit dari tempat duduknya, buru-buru ke meja kasir untuk menemui Praya. Untungnya, sore itu kafe tidak terlalu ramai. Dengan suara bergetar, dia bertanya, “Mas, Mas Bhumi sekarang di mana? Udah berangkat ke Jogja belom? Dia berangkat naik apa? Berangkat jam berapa?” Tanyanya yang terdengar panik.
Praya sedikit terkejut dengan rentetan pertanyaan Yicel, tapi dia tetap menjawab dengan tenang, “Mas Bhumi berangkat ke Jogja naik kereta. Keretanya berangkat jam 7 nanti malem dari stasiun kota.”
Mendengar itu, Yicel langsung lari keluar kafe. Dia hampir mengejar bus kota yang berhenti di halte depan, tapi segera berpikir ulang. Ini awal pekan, jalanan pasti macet. Dia nggak mungkin bisa sampai stasiun tepat waktu kalau naik bus. Akhirnya, tanpa pikir panjang, dia pesan ojek online. Meskipun jaraknya jauh dan tarifnya jadi mahal, dia nggak peduli. Yang ada di pikirannya cuma satu: ketemu Mas Bhumi.
Perjalanan menuju stasiun terasa panjang dengan lalu lintas yang padat, tapi Yicel akhirnya tiba dengan selamat. Dia langsung mencari satpam dan bertanya tentang kereta yang menuju Jogja. Satpam itu memberi arahan, dan Yicel segera menuju pintu masuk yang dituju. Tapi, waktu sampai di pintu masuk, dia baru sadar. Dia nggak punya tiket. Dia nggak bisa masuk buat nyusul Bhumi.
Rasa pasrah menggelayuti hatinya. Dia mau marah, mau nangis, tapi stasiun lagi ramai banget. Badannya lemas, akhirnya dia duduk di kursi tunggu. Air mata mulai menggenang di pelupuk mata, dia menunduk sambil menangis. Semua perasaan bersalah bercampur menjadi satu di dalam dirinya. Kenapa dia blokir kontak Bhumi? Kenapa dia kabur waktu Bhumi kejar? Kenapa dia nggak mau diajak ketemu?
Di tengah keputusasaannya, suara seseorang memanggil namanya terdengar di telinga Yicel, suara yang nggak asing, suara yang selama ini dirindukannya. Dia mengangkat kepalanya, dan betapa terkejutnya dia waktu lihat siapa yang berdiri di hadapannya. Bhumi.
Bhumi menaruh kopernya di depan kursi kosong di sebelah Yicel, lalu jongkok di hadapan Yicel yang mulai menangis lagi. “Kok kamu di sini?” tanya Bhumi sambil celingak-celinguk, mencoba mencari tahu kenapa Yicel ada di stasiun. “Hari ini nggak ada les?” Tanya Bhumi lagi.
Yicel cuma menggeleng, nggak mampu berkata-kata. Hatinya masih berusaha keras menahan keinginan untuk memeluk Bhumi. Akhirnya, setelah berhasil sedikit meredakan tangisnya, Yicel berdiri. Bhumi pun ikut berdiri. Yicel lalu berkata dengan suara yang masih bergetar, “Mas, boleh nggak saya minta satu hal buat yang terakhir kali? Karena mungkin habis ini kita nggak akan ketemu lagi.”
Bhumi mengangguk, tanpa ragu.
Dan tanpa diduga, Yicel memeluk Bhumi erat-erat. Tangisnya kembali pecah, tapi dia nggak peduli karena yang kali ini benar-benar nggak bisa ditahan.
Bhumi menerima pelukan itu, sama eratnya. Dia hirup aroma rambut Yicel kuat-kuat. Wangi. Selalu wangi. Sudah lama Bhumi menginginkan ini.
Nggak ada satu kata pun yang diucapkan dari keduanya. Masing-masing hanya meromantisasi kesedihan yang mereka miliki.
Setelah beberapa saat, terdengar suara pengumuman kalau kereta yang akan Bhumi tumpangi, segera berangkat. Perlahan Bhumi melepas pelukan itu. “Maaf ya, saya harus pergi sekarang,” kata Bhumi dengan suara lembut.
Yicel cuma bisa mengangguk pelan, mencoba tegar meski dadanya terasa sangat sesak. Masih menangis, tapi dia berusaha tenang.
Bhumi beri senyum terakhir yang penuh kesedihan kepada Yicel sebelum pamit. “Baik-baik ya? Doain semoga saya cepet sembuh, supaya kamu bisa peluk saya terus tanpa ada yang ganggu.” Ucapnya sambil menghapus jejak air mata di pipi Yicel. Kemudian, dia mengambil kopernya, lalu melangkah pergi menuju kereta yang sudah menunggu.
Yicel cuma bisa lihat dari kejauhan, dan waktu Bhumi menghilang dari pandangannya, dia kembali duduk di kursi tunggu, menangis sendirian di tengah keramaian stasiun. Dan di situlah Yicel tetap duduk, meratapi kenyataan yang nggak bisa dia ubah.
Keduanya sama-sama merasa kehilangan, merasa hampa. Tapi di balik semua kesedihan itu, ada secercah perasaan lega. Walaupun pada akhirnya, mereka harus tetap berpisah dengan keadaan hati yang (semoga) masih saling terikat.
Malam itu, dunia seakan bercanda melihat cerita cinta mereka.