Musik hip-hop menggema di seluruh ruangan, menciptakan atmosfer yang seakan menelan segalanya. Salah satu bar di kawasan Jakarta Selatan ini, seperti biasa, dipenuhi tawa dan suara gelas yang beradu. Lampu neon ungu dan biru berkedip-kedip, memantul di permukaan meja kayu yang dipoles mengkilap. Aroma alkohol bercampur dengan wangi parfum mahal dan asap vape yang menguar di sekitar ruangan.
Di salah satu sudut bar, Nibras duduk sendirian, memainkan jari di bibir gelasnya yang masih berisi sisa Whiskey Sour. Kursi kosong di depannya yang sebelumnya diduduki Regar kini tak bertuan.
Temannya itu, seperti yang sudah bisa ditebak, sedang berkeliaran entah di mana dalam keadaan setengah mabuk. Nibras sudah berjanji nggak akan minum banyak malam ini, jadi dia hanya mengawasi dari jauh, memastikan kalau Regar nggak terlalu berulah.
Malam ini mereka merayakan Lay-off massal. Entah kenapa Regar melihat ini sebagai alasan sempurna untuk minum sampai teler, sementara Nibras lebih melihatnya sebagai kenyataan pahit yang perlu diterima. Tapi ya sudahlah, mereka sudah ada di sini, jadi setidaknya nikmati dulu.
Nibras sedang sibuk membolak-balik coaster di mejanya saat sesuatu di pintu masuk menarik perhatiannya.
Dua orang baru saja datang—seorang cowok tinggi dengan jaket kulit hitam yang tampak santai dan seseorang di sebelahnya yang jauh lebih mencolok. Kiruna.** Nama itu sudah sering dia dengar akhir-akhir ini. Influencer yang katanya, omongannya tajam, sering dibicarakan, banyak disukai, sering dijadikan panutan dalam berpakaian.
Entah kenapa, Nibras merasa semakin tertarik. Dia memperhatikan ke mana mereka melangkah, melihat mereka memilih tempat di pantry bar, bukannya di sofa atau meja tengah yang lebih ramai. Dari kejauhan, dia mengamati cara Kiruna berbicara dengan cowok di sebelahnya—yang belakangan baru dia tahu namanya Harlan. Mereka tampak akrab, tapi bukan tipe yang nempel satu sama lain.
Lalu tiba-tiba, Harlan berdiri dan pergi ke toilet, meninggalkan Kiruna sendirian.
Dari tempat duduknya, Nibras melihat bagaimana Kiruna terus menuang minuman, satu gelas, lalu gelas berikutnya. Dia mengerutkan dahi. "Buset, kuat banget minumnya."
Bukan karena dia meremehkan, tapi dia tahu betul minuman yang Kiruna pesan adalah salah satu minuman dengan kadar alkohol yang tinggi.
Kiruna menatap kosong ke dalam gelasnya, jemarinya yang lentik melingkari pinggirannya, seakan sedang berbicara dalam diam dengan cairan keemasan di dalamnya.
Harlan sudah pergi cukup lama. Terlalu lama.
Nibras menghela napas, lalu akhirnya berdiri, dan berjalan menuju bar dengan alasan klasik: menambah minumannya. Tapi kalau boleh jujur, dia cuma ingin melihat Kiruna lebih dekat.
Dia menyodorkan gelas kosongnya ke bartender, memberi isyarat untuk menuangkan sesuatu yang baru, lalu mencuri pandang ke arah Kiruna yang masih asyik dengan dunianya sendiri. Dia duduk di kursi kosong di sampingnya, tapi laki-laki itu bahkan nggak sadar ada orang lain di sebelahnya.
Dan tiba-tiba, seolah ada sesuatu yang memicunya, Kiruna menenggak habis minumannya dalam sekali teguk. Setelahnya, gelas itu mendarat agak kasar di meja, dan detik berikutnya, dia tersedak.
Nibras refleks panik. "Eh, eh, lu gapapa?"
Kiruna batuk beberapa kali, tangannya sedikit gemetar saat berusaha meraih napkin di atas meja.
Dengan cepat Nibras langsung melambaikan tangan ke bartender. "Mas, air mineral satu."
Botol kecil didorong ke arahnya. Nibras membuka tutupnya dengan cepat, lalu menyodorkannya ke Kiruna. "Minum nih, minum."
Kiruna melirik botol itu sebentar, lalu menggeleng. "Nggak, gue gapapa." Suaranya serak, tapi nadanya masih santai.
Nibras mendecak. "Yakin? Tadi batuk lu kayak abis kena karma seharian soalnya."
Kiruna tertawa kecil, suara tawanya agak parau karena alkohol. "Dramatis banget sih." Ucapnya agak sinis.
Nibras tersenyum miring. "Gua emang gitu orangnya."
Kiruna akhirnya menoleh dan benar-benar melihat Nibras untuk pertama kali. Mata mereka bertemu, dan untuk sesaat, dunia yang ramai di sekitar mereka terasa mengecil.
Kiruna menyipitkan mata, seolah berusaha mengenali wajah Nibras. "Lu siapa sih?"
"Nibras."
"Kenapa sok baik banget nyodorin air?"
"Ya... Karena gua orang baik." Nibras mengangkat bahu. "Atau bisa jadi karena gua juga suka kepo sama orang yang kuat minum kayak lu."
Kiruna tersenyum kecil. "Gue nggak sekuat itu sebenernya. Gue cuma… ya, gitu deh."
Nibras nggak bertanya lebih jauh. Dia hanya menyandarkan lengannya di meja, memperhatikan cara Kiruna memutar-mutar gelas kosongnya dengan satu jari.
"Lu sendirian?" tanya Kiruna tiba-tiba.
Nibras menggeleng. "Temen gua ada, tuh," dia tunjuk manusia konyol bernama Regar dengan dagunya. "Biasa lah... dia lagi sibuk banget itu nyari daddy sugar."
Kiruna terkekeh. "Asik banget ya temen lu?"
"Asik kalau masih sadar."
Kiruna tertawa lagi, kali ini lebih lepas. "Lu sering ke sini ya? Soalnya kalo diliat dari minuman yang lu pesen, kayaknya udah pro banget tuh."
Nibras menggeleng. "Nggak. Temen gua juga yang ngajakin. Kita… well, baru dipecat bareng-bareng."
Kiruna menaikkan alis. "Ohhh... Lagi lay-off party ceritanya?"
"Semacam itu lah."
"Berarti lu sekarang pengangguran?" Tanya Kiruna dengan penuh hati-hati, takut menyinggung.
"Yep. Lu?"
Kiruna terkekeh. "Gue? Masih kerja, tapi rasanya kayak pengangguran juga."
Nibras menoleh ke arahnya, tertarik. "Kenapa?"
Kiruna mengangkat bahu. "Capek, mungkin." Dia melirik botol air mineral yang belum disentuhnya. "Nggak tau, hidup gue belakangan ini lagi agak sial aja."
Nibras mengangguk mengerti. "Makanya minum banyak?"
Kiruna menoleh, memandangnya sejenak sebelum akhirnya tersenyum miring. "Sumpah, lu sebenernya siapa sih? Baru kenal udah jadi psikolog pribadi dadakan aja."
Nibras tertawa. "Bukan psikolog, dibilang gua cuma kepo."
Kiruna menghela napas, lalu akhirnya membuka botol air mineral yang tadi dikasih Nibras. Dia meneguknya sedikit, lalu meletakkannya kembali di meja. "Thanks," katanya pelan.
"Sama-sama."
Mereka terdiam sesaat, hanya mendengar suara bartender menuangkan minuman untuk pelanggan lain dan dentingan gelas-gelas di sekitar mereka. Entah kenapa, rasanya nyaman.
Tapi sebelum percakapan mereka semakin jauh, Nibras menangkap pergerakan di sudut matanya. Dia melihat seseorang berjalan ke arah mereka.
Harlan akhirnya kembali dari toilet.
Kiruna penasaran apa yang Nibras lihat, dia menoleh ke belakang. Kemudian mereka berdua saling pandang, lalu tertawa kecil bersamaan.
Nibras tahu ini waktunya beranjak dari sini. Dia menghela napas, lalu bangkit dari kursinya. "Partner lu udah balik," katanya, memberi isyarat ke arah Harlan.
Kiruna mengangguk pelan. "Thanks ya, udah nemenin."
Nibras tersenyum. "Yooo, sama-sama." Dia kembali ke tempat duduknya yang tadi, meninggalkan Kiruna yang masih menatapnya sekilas sebelum kembali fokus ke Harlan. Malam ini ternyata lebih menarik dari yang dia kira. Thanks to Regar, yang pergi ninggalin dia sendirian. Thanks to Harlan, yang pergi ninggalin Kiruna sendirian.
Harlan menjatuhkan tubuhnya ke kursi dengan ekspresi yang sulit ditebak. Matanya dengan cepat menyapu situasi. Gelas Kiruna yang sudah kosong, botol air mineral yang terbuka tapi hampir nggak berkurang isinya, dan sosok pria yang baru saja bangkit dari kursi di sebelahnya.
"Siapa tadi?" tanyanya langsung, nada suaranya datar tapi sarat dengan ledekan.
Kiruna mengambil botol air mineralnya, mengocoknya pelan sebelum akhirnya meneguk isinya tanpa tergesa-gesa. Bibirnya membentuk garis tipis saat ia akhirnya menjawab, "Nggak tau, nggak kenal."
Harlan mendengus kecil, matanya tetap mengunci Kiruna seolah menilai apakah jawaban itu cukup masuk akal. "Masa? Kok tadi ngobrolnya kayak udah kenal lama?"
Kiruna hanya mengangkat bahu. "Gue ngobrol sama banyak orang di sini. Lu juga sering lihat gue tiba-tiba ngobrol sama orang random, kan?" Suaranya terdengar ringan, tapi ada ketegangan tipis di baliknya.
Harlan menyandarkan punggungnya ke kursi, menyilangkan tangannya di dada. Dia menatap Kiruna dengan mata yang sedikit menyipit, meneliti setiap gestur dan raut wajahnya. "Tapi tadi dia nggak kayak orang random tuh. Dia kelihatan nyaman duduk di sebelah lu. Terus, lu juga nggak kelihatan berusaha buat ngusir dia."
Kiruna tertawa kecil, nada tawanya terdengar sedikit sarkastik. "Lan, please lahhh, ini gue lagi di bar. Kalo ada orang duduk di sebelah gue terus ngajak ngobrol, ya wajar dong? Masa gue harus dorong dia dari kursinya biar lo puas?"
Harlan menghela napas pelan, lalu menyandarkan sikunya ke meja. "Bukan itu maksud gua, Beh. Gua penasaran aja. Biasanya kalo ada cowok nggak dikenal deketin lu, lu kan bakal lebih defensif. Tapi tadi, gua liat lu ketawa, haha-hihi, lu balesin dia kayak—"
"Harlan," Kiruna menyela, suaranya kini terdengar lebih serius. "Gue cuma ngobrol biasa. Sumpah, lu berlebihan banget."
Harlan memiringkan kepalanya, masih belum sepenuhnya puas dengan jawaban itu. "Oke. Tapi kalo lu nggak kenal dia, kenapa dia nawarin lu air pas lu keselek tadi?" Matanya menelusuri botol mineral di tangan Kiruna. "Dan kenapa lu terima?"
Kiruna terdiam sejenak sebelum akhirnya mengangkat botol itu sedikit. "Karena gue emang lagi butuh minum?"
Harlan mendecak, jelas tidak puas. "Beh, sejak kapan lu gampang nerima sesuatu dari orang yang nggak lu kenal!? Lu bahkan sering nolak kalo gua yang nawarin air pas lu hangover yaaa."
Kiruna menarik napas panjang. Dia menatap lurus ke arah Harlan, matanya yang sedikit sayu karena alkohol kini tampak lebih tajam. "Orang tadi dia cuma nyodorin air, terus nggak ada ngomong yang aneh-aneh juga."
Harlan terdiam. Jawaban itu membuatnya sedikit kehilangan argumen, tapi tetap ada sesuatu yang mengganjal dalam pikirannya.
Dia mengamati ekspresi Kiruna sekali lagi. Ada sesuatu di balik nada suaranya, sesuatu yang Harlan belum bisa pahami sepenuhnya. Dia bukan orang yang gampang puas dengan jawaban setengah-setengah, tapi dia juga tahu kapan harus berhenti menekan. Akhirnya, dia hanya mengangguk pelan. "Oke. Kalau lu bilang gitu."
Kiruna meneguk air mineralnya lagi, lalu menatap Harlan dengan ekspresi yang lebih santai. Dia melirik gelas kosongnya, lalu ke arah bartender. "Gue mau pesen satu lagi. Lo mau apa?"
Harlan tertawa kecil, meski kepalanya masih menyimpan tanda tanya. "Kayaknya lu udah cukup banyak minum deh."
Kiruna hanya tersenyum miring. "Lu tadi lama banget di toilet. Udah, duduk dulu aja, santai. Nggak bisa enjoy banget ya jadi orang."
Dan dengan itu, topik soal pria asing tadi pun tenggelam di antara percakapan mereka yang kembali mengalir ke arah yang lebih ringan. Tapi di kepala Harlan, satu hal masih mengganjal.
Siapapun orang tadi, dia bukan sekadar pria random yang cuma kebetulan duduk di sebelah Kiruna. Dan Harlan berniat mencari tahu lebih jauh.