Akhirnya Lioboy Diajak Pulang

Jul 28, 2024

Sebelum berangkat ke panti, Jerome sudah memberitahu Ibu Menir soal mereka yang berencana ingin mengambil alih asuh Lio hari ini melalui telepon. Jadi, ketika mereka sampai, semua barang-barang Lio sudah disiapkan. Nggak banyak, hanya satu tas ransel kecil, bergambar kartun robot tiga dimensi yang berisi buku gambar, boneka zebra berukuran kecil.

Kata Ibu Menir, kalau Lio lagi ketakutan, biasanya dia akan meremas salah satu kaki dari boneka zebranya kuat-kuat sambil komat-kamit mulut yang Ibu Menir anggap sedang merapalkan doa-doa agar dirinya terlindungi dari jutaan hal buruk.

Kata Ibu Menir, kalau malam hari, Lio suka pura-pura tertidur lebih awal dibanding teman-teman di asrama dengan alasan supaya dirinya cepat-cepat ditinggal sendirian di dalam kamar, jadi Ibu Menir meminta tolong kepada sepasang orangtua yang akan mengasuhnya; tolong temani Lio sampai benar-benar tertidur dengan tenang tanpa kedua alis yang bertaut.

Kata Ibu Menir, kalau lihat Lio menangis, tolong peluk erat jiwa rapuhnya agar terbentuk kuat kembali. Dan, masih banyak lagi titipan pesan yang Ibu Menir sampaikan kepada Jerome dan Kafka.

Sekarang, di depan teras asrama panti sudah ada Jerome, Kafka, Ibu Menir, Mbak Nana (yang bertanggung jawab mengurus kamarnya Lio), dan juga Lio.

Terlihat Lio sedikit menarik-narik pelan ujung rok yang dikenakan Mbak Nana. “Mbak, aku mau diajak pergi sama orang itu ya?”

Mbak Nana menyamakan wajahnya sejajar dengan Lio. “Iya, mereka yang akan nemenin Lio terus sampe Lio buesarrr…. terus, nanti Lio nggak bisa bobo sama Mbak lagi deh.”

“Kenapa? Kok gitu sih?” Tanya Lio terdengar sebal.

“Karena rumah Lio, kan, bukan di sini lagi.”

“Emangnya mereka siapa sih? Orang yang itu tuh — “ Lio tunjuk Kafka dengan telunjuk mungilnya. “ — dari kemarin dia ajak aku ngobrol terus, padahal aku kadang lagi nggak mau diganggu, tapi aku akan merasa bersalah kalau nggak dengerin dia ngomong.” Bisiknya jelas.

Anak ini lucu banget, Mbak Nana sampai nggak tahan rasanya mau cubit bibirnya yang terus mencucu di setiap kata yang diutarakan barusan. “Hahaha. Lio nggak boleh gitu, kalau Lio ingin sebut orang lain yang lebih tua dari Lio, nggak boleh pakai sebutan ‘Dia’ ya? itu nggak sopan, katanya Lio mau jadi anak baik, kan?”

Lio mengangguk dan sedikit merasa bersalah.

“Nggak apa-apa, kan, sebelumnya Lio belum tau.” Ucap Mbak Nana sambil mengelus lembut dada Lio guna menenangkan hati gundah nan gelisahnya.

“Terus aku harus panggil apa, Mbak?”

“Hmmm… sebentar.” Mbak Nana tegapkan badannya. “Mas Kafka, biasanya Gama panggil ayahnya pakai sebutan apa, Mas?” Tanya Mbak Nana yang nggak langsung dijawab Kafka karena,

“ — Oh… Mas Kafka…” Lirih Lio sambil menganggukkan kepalanya sok tahu, namun masih bisa terdengar sampai ke telinga empat orang dewasa di sekitarnya.

Semua orang yang mendengarnya dibuat kaget gemas.

“Kenapa sih? Kok orang-orang pasang mata melotot ke aku kecuali Mas Kafka, Mas Kafka itu.” Batin Lio bingung.

Lio itu pendiam bukan karena takut berbicara sama orang lain, melainkan, sedari dulu nggak ada yang mengajaknya berbicara, sedari dulu ia selalu ditinggal sendirian oleh rasa bingungnya, sedari dulu cuma dirinya sendiri lah yang menjadi satu-satunya yang ia ajak berbicara. Terbiasa sendiri, Lio pun menjadi nyaman dengan kesendiriannya bahkan sampai malas bersosialisasi dengan teman-teman di asrama.

“Sayangku, Lionel…” Ibu Menir tiba-tiba saja memeluk Lio yang masih bingung kenapa dirinya dipelototi sebegitunya tadi. Dalam peluknya, Ibu Menir menangis. Mengingat, hitungannya baru beberapa hari Ibu Menir dipertemukan dengan anak kecil kuat dan hebat ini, namun, sekarang sudah harus dipisahkan kembali karena ini semua bukan kehendak Ibu Menir.

Tugasnya Ibu Menir itu hanya membantu menjaga dan mengasihi. Ketika datang orangtua yang ingin menggantikan tanggung jawabnya, maka, sudah seharusnya Ibu Menir ikhlas. Nggak peduli seberapa berartinya anak itu di hati Ibu Menir. Kira-kira begitulah perasaan Ibu Menir setiap kali mengantarkan anak asuhnya bertemu dengan orangtua baru mereka yang Ibu Menir selalu doakan semoga anak-anaknya tetap diperlakukan baik sebagaimana mestinya.

“Lio harus selalu menjadi anak yang baik dimanapun Lio berada ya?” Ucap Ibu Menir setelah melepas pelukannya dengan penuh haru.

Mbak Nana serahkan tas ransel Lio kepada Jerome.

Kafka berjalan untuk berlutut di hadapan Lio. “Kamu ikut aku pulang mau ya?”

Dibalas dengan anggukan samar karena Lio masih berusaha memproses apa yang sedang terjadi. Tetapi, ia ingat betul tentang apa harapannya yang ia rapalkan saat pertama kali melihat dua pria dewasa ini datang ke panti. Walaupun masih bingung, tapi hatinya tetap senang mengetahui fakta tersebut.

“Akhirnya, aku diajak pulang.” Batin Lio menerima uluran tangan salah satu pria dewasa yang sedari tadi hanya menatapnya sambil senyum, yang badannya terlihat lebih menyeramkan, yang belum begitu ia kenal, yang belum pernah mengajaknya berbicara namun Lio yakin kalau dirinya pasti akan dilindungi dan disayangi pria dewasa itu.

Kini, Lio sudah berdiri di antara Kafka dan Jerome sambil melambaikan satu tangannya yang nggak digandeng. “Ibu Menir, Mbak Nana, terima kasih banyak sudah merawatku, aku sayang Ibu dan Mbak. Dadaaaah.” Ucapnya meninggalkan halaman panti sebelum masuk ke dalam mobil.

Akhirnya Lio Diajak Pulang….