Diwarnainya Tangan Yang Hampir Mati

Oct 18, 2024

Di bawah redupnya lampu jalanan, Yicel berjalan menyusuri trotoar yang sunyi, matanya nggak berhenti menelusuri setiap tempat yang mungkin saja jadi tempat Bhumi bersembunyi. Setelah lama mencari, akhirnya ia menemukannya. Bhumi duduk sendirian di sebuah kursi di toko roti depan rumah sakit, yang buka 24 jam. Yicel hanya berdiri di luar, memperhatikan Bhumi yang sudah tampak sangat berbeda. Keadaan Bhumi sekarang—kusut, suram, dan kehilangan semangat hidup. Melihatnya begitu, hati Yicel ikut terasa kacau.

Dengan langkah pelan, Yicel masuk ke toko, mendekati Bhumi. Begitu sampai di depannya, Bhumi mendongak dan terkejut. Dia panik, kelihatan jelas dia nggak mau siapapun, apalagi Yicel, melihat dirinya dalam keadaan seperti ini.

“Pulang, Cel. Saya lagi mau sendiri,” ucap Bhumi singkat.

Yicel nggak langsung beranjak, masih tetap berdiri di tempat. Bhumi akhirnya berdiri, menggenggam tangan Yicel, membawanya keluar dari toko itu. Sampai di depan pintu, Yicel menghentikan langkah Bhumi dengan melepaskan cengkramannya.

Mereka berdua berhadapan, saling tatap dalam diam yang berat. Akhirnya Yicel buka suara, “Mas Bhumi beneran mau saya pergi dari sini?”

Bhumi menunduk, dan dengan suara lirih menjawab, “Iya.” Bhumi berusaha menatapnya lagi, kali ini dengan wajah yang lebih tenang.

Jawaban itu seperti mengiris hati mungil Yicel. Namun, Yicel akhirnya mengangguk pelan, mengambil langkah untuk menjauh. Tapi baru tiga langkah, tubuhnya berhenti seketika. Hati dan pikirannya bertentangan. Hatinya ingin tetap di sana, menemani Bhumi dalam keadaan apapun, tapi akal sehatnya menolak.

Dengan tekad yang kuat, Yicel memutar badan, kembali menghampiri Bhumi yang kini duduk di bangku taman rumah sakit. Ia ikut duduk di sampingnya. Bhumi hanya memandangnya, bingung.

“Maaf, Mas. Tapi saya nggak jadi pergi,” kata Yicel pelan.

“Kenapa?” tanya Bhumi.

“Saya nggak mau pergi, saya mau di sini aja,” ucapnya mantap.

“Iya, kenapa??” nada Bhumi mulai meninggi, menahan amarah yang sejak tadi ia pendam.

“Dalam keadaan Mas Bhumi yang kayak sekarang ini, Mas Bhumi nggak seharusnya sendirian malem-malem begini tau, Mas,” jawab Yicel, suaranya lirih namun penuh keprihatinan.

“Kamu tau apa soal keadaan saya sekarang?” Bhumi balas menantang.

Emosi Yicel memuncak, ia tak bisa menahan diri lagi. “MAS BHUMI TUH LAGI MARAH, LAGI SAKIT, LAGI KETAKUTAN! SAYA TAU, SAYA BISA NGERASAIN ITU SEMUA! SAYA TAU RASANYA TAKUT TAPI SENDIRIAN ITU NGGAK ENAK, MAS!” Setelah emosi itu terlontar, Yicel menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. “Saya cuma nggak mau orang yang saya sayang, ngelewatin masa sulitnya sendirian,” lanjutnya lebih pelan. “Kalau Mas Bhumi tetep mau ngusir saya, silahkan aja. Tapi saya nggak akan pergi ke mana-mana.”

Perkataan Yicel itu akhirnya meruntuhkan pertahanan Bhumi. Tanpa bicara lagi, Bhumi menunduk. Perlahan, air mata yang sejak tadi ia tahan akhirnya jatuh juga. Tangannya yang gemetar saling menggenggam, mencoba menahan emosi yang tumpah.

Melihat Bhumi hancur, Yicel mendekat, memeluknya erat. Bhumi tak menolak, bahkan pelan-pelan balas memeluk Yicel seerat mungkin, seolah mengandalkan pelukan itu sebagai sandaran yang selama ini ia rindukan.

Malam itu, Bhumi merasa sedikit bersyukur. Bersyukur karena ternyata kesedihannya nggak harus ia lewati sendirian. Tuhan menghadirkan Yicel untuknya malam itu, dan Bhumi hanya bisa berterima kasih, meski dalam hati. Kehadiran Yicel mungkin nggak bisa menyelesaikan masalah hidupnya, tapi setidaknya, pelukan Yicel mampu sedikit meringankan beban berat di pundaknya.

Saat itu, Bhumi merasa semua kekhawatiran yang selama ini menghantui—soal Yicel, apakah dia baik-baik saja, apakah dia masih menyukai teh tarik, atau bahkan apakah dia sudah bisa nyebrang jalan sendiri—semua itu terjawab hanya dengan kehadiran Yicel di sisinya.

Malam ini, biarlah mereka berdua berbagi peluk, untuk sesaat lupa akan dunia.