Siang itu Bhumi datang ke kost Yicel. Pintu kamar yang terbuka sedikit diketuknya pelan sebelum masuk. Yicel yang lagi selonjoran di kasur buru-buru bangkit dan menyambut Bhumi dengan senyum kecil. “Tadi kehujanan nggak?” tanyanya.
“Nggak kok, cuma kebagian mendungnya aja,” Bhumi masuk, duduk di kursi belajar Yicel, sambil memperhatikan setiap sisi kamar Yicel yang selalu rapi itu.
Nggak lama, suara ketukan lain terdengar dari pintu. Kurir paket berdiri di depan dengan paketan kecil di tangannya. “Yicel Radimir?”
Bhumi yang sudah berdiri untuk menerima paket itu, terkejut saat sang kurir menatapnya tajam.
“Mas siapanya ya?” tanya si kurir dengan nada curiga, matanya beralih antara Bhumi dan paket yang dibawanya.
Tanpa ragu, Bhumi jawab santai, “Saya pacarnya.”
Mata Yicel langsung membesar, melotot mendengar pengakuan Bhumi. Dia kaget, senang, sekaligus salah tingkah. Bahkan sampai nggak bisa ngomong apa-apa. Tapi juga sedikit bingung. Selama ini, Yicel selalu merasa bingung setiap kali ada yang bertanya tentang hubungan mereka. Rasanya hubungan mereka belum memiliki status yang jelas, tapi nggak mau terlalu percaya diri untuk mengakui Bhumi sabagai pacar.
Setelah kurir paket itu pergi, Bhumi meletakkan paket tersebut di meja belajar Yicel dan langsung berjalan ke arah kasur, tempat Yicel sudah duduk menunggu. Tanpa berkata apa-apa, Bhumi duduk di sebelah Yicel dan perlahan menarik tubuhnya ke dalam pelukan. Mereka berdua diam, hanya saling menikmati keheningan.
“Aku bawain buku-buku baru buat kamu,” Bhumi akhirnya memecah keheningan, sambil menyerahkan beberapa buku yang dibawanya.
Yicel meraih buku-buku itu dengan mata berbinar. “Kalo aku udah selesai baca semuanya, Mas Bhumi janji bakal kasih buku baru lagi nggak?”
Bhumi tersenyum, matanya lembut. “Mau.”
Beberapa saat kemudian, Yicel membuka sebuah topik yang sudah lama dipikirkannya. “Mas, kenapa sih suka nulis novel?”
Bhumi diam sejenak, memikirkan jawabannya. “Aku suka nulis karena dulu aku ngerasa banyak hal yang pengen aku ceritain, tapi nggak ada yang bener-bener mau dengerin. Lewat tulisan, aku bisa cerita sepuasnya tanpa takut diabaikan. Tapi sekarang, aku bersyukur, soalnya ada kamu. Mas sekarang punya kamu.”
Yicel menatap Bhumi dengan tatapan penuh makna, hatinya terasa hangat mendengar kata-kata itu. Namun, meski begitu, masih ada sedikit keresahan yang mengganjal dalam pikirannya. “Tau nggak, Mas? Sebenernya aku sering cemburu tiap lihat novel-novel kamu yang udah dipublikasi itu.”
“Cemburu kenapa?” Bhumi menoleh, penasaran.
“Karena aku tau itu cerita tentang masa lalu kamu.”
Bhumi tersenyum kecil sebelum menarik Yicel kembali ke dalam pelukannya. “Kamu nggak perlu khawatir soal itu. Semua yang aku tulis, cuma bagian dari cerita yang menurutku udah selesai. Sekarang, yang penting buat aku ya kamu, Yicel. Kamu yang ada di sini, di hidup aku sekarang.” Bhumi belai kepala Yicel dengan lembut. “Nggak usah dibaca lagi ya, buku-bukunya?” tanyanya dengan suara penuh kelembutan.
Yicel mengangguk pelan, merasa lebih tenang. Dalam pelukan Bhumi, ia sangat merasa dihargai, dan semua keraguan yang sempat mengganggu pikirannya perlahan menghilang.
Langit Jogja sore itu sudah mulai merunduk dan menguning lembut waktu Yicel dan Bhumi memutuskan untuk berangkat ke stasiun. Mereka berjalan berdampingan, langkah mereka pelan, seolah ingin memperpanjang waktu yang tersisa. Sesekali Bhumi menggenggam tangan Yicel sebentar, lalu melepaskannya lagi.
Ada perasaan yang sulit dijelaskan. Campuran antara rasa takut dan rindu yang sudah mulai menyusup dalam setiap detak jantung Yicel.
Di sampingnya, Bhumi terus melirik Yicel dengan tatapan penuh perhatian, ingin memastikan bahwa semuanya akan baik-baik saja meski mereka tahu, waktu yang tersisa semakin sedikit. Begitu sampai di stasiun, Bhumi menarik napas dalam, lalu menatap Yicel dengan sorot mata yang lembut tapi penuh makna, seakan ingin menyimpan setiap detail dari wajahnya dalam ingatannya.
“Jangan nangis, ya?” Bhumi berkata lembut. Dia khawatir kata-katanya bisa membuat perasaan Yicel semakin berat.
Yicel menggeleng, tapi matanya yang sudah berkaca-kaca itu nggak bisa menutup kebohongan kalau sekarang ia benar-benar ingin menangis.
Bhumi yang nggak tega akhirnya menarik Yicel ke dalam pelukan erat, tangannya mengusap punggung Yicel dengan lembut. “Nggak apa-apa ya.., Nanti kan bisa sering video call kayak biasanya. Aku bakal kangen kamu, jangan males makan, jangan terlalu capek, jangan kebiasaan tidur kemaleman juga, terus kalo ada apa-apa langsung kabarin aku.”
Yicel cuma bisa mengangguk dalam pelukan Bhumi, merasakan kehangatan yang selalu membuatnya merasa aman dan dicintai. Semua rasa yang ada dalam hatinya seakan mengalir dalam pelukan itu.
Bhumi tangkup wajah mungil Yicel sebelum ia kecup kening yang lebih muda dengan lembut.
Napas Yicel sedikit tersendat. Dia menggigit bibirnya, berusaha keras menahan air mata yang sudah kembali menggenang di pelupuk. “Aku udah kangen banget” lirihnya, suaranya nyaris bergetar.
Bhumi tersenyum kecil, tangannya tetap mengusap punggung Yicel. “Yah, gawat nih, aku bisa kalah kalo sekarang aja kamu udah kangen.” kata Bhumi, alih-alih bercanda soal kompetisi kangen-kangenan yang mereka buat beberapa hari lalu — meskipun di dalam hatinya, ia merasakan hal yang sama. “Lucu banget sih, udah kayak anak kecil aja,” Bhumi meledek sambil mencubit kedua pipi Ycel.
Yicel menunduk malu, mukanya merah. Matanya berusaha menghindari tatapan Bhumi. “Jangan diketawain!.”
“Aku nggak ngetawain, cuma seneng aja liat kamu sayang sama aku segitunya,” jawab Bhumi dengan senyum jahil
Sebelum masuk ke dalam, rasanya Yicel juga ingin memberi wejangan untuk Bhumi, “Hati-hati ya. Mas Bhumi juga di sana jangan capek-capek, jaga kesehatan, semoga wisudanya lancar. Maaf ya aku nggak bisa dateng ke wisudanya Mas Bhumi,” katanya dengan air mata yang masih jatuh perlahan, menuruni pipinya.
Bhumi mengangguk perlahan. Dan, kembali menarik Yicel ke dalam peluknya sebelum ia benar-benar harus pergi. Keduanya hanya saling menikmati pelukan itu, merasa sudah nggak ada lagi kata-kata yang perlu diucapkan.
Kemudian langkah Bhumi dibawa semakin menjauh dari pandangan Yicel. Di tengah riuh rendahnya stasiun, ia terus berjalan tanpa berani menoleh ke belakang, meresapi setiap detik yang terasa seperti melambat. Angin sore yang berhembus lembut menerpa wajahnya, seolah menyampaikan banyak pesan penuh harapan. Di dalam dirinya, Bhumi tahu bahwa Yicel bukan lagi sekadar sosok yang akan ia tinggal pergi jauh, melainkan sebuah tempat yang pasti ia rindukan, tempat di mana ia ingin selalu pulang ke sana.
Dengan bibir yang bergetar, Yicel bisikkan pelan, hampir seperti sebuah doa yang ia titipkan pada langit. “Hati-hati,” katanya, suaranya penuh sesak. ‘Ntah apa yang sebenarnya ingin ia tangisi, mengingat LAGI DAN LAGI ia dihadapkan oleh perpisahan. Dan, LAGI-LAGI stasiun dan segala isinya lah yang menjadi saksi bisu kesenduannya.
Keduanya beranggapan bahwa waktu rasanya sudah terhenti di titik ini. Terhenti di antara perpisahan yang memahitkan dan rasa rindu yang semoga akan terus tumbuh, sebab jarak yang kembali memaksakan mereka untuk berpisah. Sebut saja mereka ini lebay dan melebih-lebihkan semuanya. Karena nyatanya memang begitu.