Acara peluncuran website buku digital yang digagas oleh Bhumi digelar di sebuah balai pertemuan hotel di bilangan Jakarta Selatan. Hari itu, langit Jakarta terlihat biasa-biasa saja — nggak terlalu cerah, nggak juga gelap — seperti menyesuaikan diri dengan perasaan Yicel yang turut mengambang.
Nggak peduli soal reservasi atau akses masuk, Yicel memilih duduk di sofa tunggu yang terletak tepat di depan pintu ruangan. Dia nggak berusaha menghubungi Bhumi, rasanya kurang pantas mengusik di momen sebesar ini hanya untuk minta izin masuk. Lagi pula, siaran langsung acara itu tersedia di kanal YouTube kantor Bhumi. Tapi tetap saja, rasanya hambar. Ia menyayangkan momentum yang nggak bisa ia temui langsung.
Perutnya tiba-tiba melilit. Ia bangkit, berjalan cepat menuju toilet. Ingatannya melayang ke semalam, saat ia terlalu segan menolak ajakan senior organisasinya untuk nongkrong sebentar di sebuah kafe yang terkenal dengan olahan susu. Padahal dirinya tahu kalau tubuhnya nggak bersahabat dengan susu. Tapi seperti biasa, rasa nggak enakan lebih dulu menang. Dua teguk aja, pikirnya waktu itu. Cuma dua teguk, harusnya nggak kenapa-kenapa, kan?
Ternyata pagi ini, tubuhnya baru memberi reaksi.
Usai dari toilet, langkahnya lunglai. Tenaga seperti menguap, kepalanya mulai berat. Ia sempat mengirim pesan ke Raleigh, namun tak kunjung mendapat balasan. Akhirnya ia menyerah, kembali ke sofa tunggu, mencoba bertahan, menonton siaran langsungnya sambil menggenggam perut yang masih berulah. Lalu, tanpa sadar matanya terpejam.
Entah sudah berapa lama ia tertidur di sofa umum itu. Yang ia tahu, tubuhnya masih letih dan kepala masih berdenyut pelan.
Kemudian, ada sentuhan halus, ringan, di lututnya. Lembut seperti embusan angin yang membangunkan tidur tenangnya.
Begitu membuka mata, pandangannya menangkap Bhumi. Lelaki itu sudah berjongkok di hadapannya, seperti semesta yang datang perlahan tanpa suara. Refleks, Yicel sedikit terlonjak. Ia sama sekali nggak menyangka bisa-bisanya terlelap begitu saja di tempat umum.
Sambil membetulkan posisi duduknya, ia melirik jam. "Udah selesai, Mas?" tanyanya pelan, suaranya parau, lemah, tapi tetap lembut.
Bhumi mengangguk pelan, kemudian duduk di sampingnya. Nggak banyak bicara, ia hanya menatap wajah Yicel yang sedikit pucat, matanya enggan bertanya, namun tangannya bergerak.
Dua jarinya — telunjuk dan tengah — menyentuh dahi Yicel, mengukur suhu dengan cara paling personal.
Normal.
Namun, kenapa pucat?
Bhumi nggak bertanya. Ia diam. Lima menit berlalu dalam senyap, hanya ada bunyi pendingin ruangan dan detak jantung masing-masing.
"Lei sama Bang Huges mana?" suara Yicel memecah hening, lirih, nyaris menyatu dengan udara.
"Masih di dalam, lagi ngobrol-ngobrol."
"Masuk yuk," ajaknya kemudian.
Yicel ragu. “Emang boleh?”
Bhumi sedikit mengernyit. “Kenapa nggak boleh?”
“Aku tadi mau masuk nggak boleh soalnya…”
Raut wajah Bhumi perlahan berubah, seperti baru menyadari sesuatu. Ia akhirnya paham. Mungkin, itu sebabnya Yicel ada di luar, mungkin itu juga sebabnya Yicel kelelahan sampai tertidur.
“Sekarang masuknya bareng Mas,” katanya, sambil berdiri dan mengulurkan tangan.
Yicel menatapnya sejenak. Kemudian menggenggam.
Mereka melangkah ke dalam, memasuki ruangan yang kini tak lagi terasa asing. Di sana, sudah ada Huges, Lei, Jo, dan seorang pria dewasa yang belum dikenalnya.
“Mas Jo juga diundang,” gumam Yicel dalam hati, cepat.
Begitu menyadari Jo duduk tepat di sebelah Lei, Yicel buru-buru melepas tautan tangannya dari Bhumi. Gerakan kecil, tapi cukup untuk membangkitkan riak di dalam dadanya. Ada sesuatu yang mengaduk-aduk — bukan curiga, bukan marah — tapi ada malu, cemburu, dan takut kehilangan, semua bercampur tak beraturan.
Padahal ia tahu, tak seharusnya ada yang perlu dikhawatirkan...