Bhumi duduk di sudut ruangan pribadinya di kafe, termenung memandang ke luar jendela. Cahaya senja yang perlahan memudar menambah kesan melankolis yang menghiasi wajahnya. Sudah beberapa hari berlalu sejak percakapan dengan Yicel, dan perasaan Bhumi masih campur aduk. Ia tahu bahwa keputusan untuk memberi jarak antara dirinya dan Yicel adalah langkah yang tepat, baik untuk dirinya maupun untuk Yicel. Namun, hati kecilnya nggak bisa memungkiri betapa beratnya menjalani keputusan itu.
Bhumi menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan gejolak emosinya. Yicel adalah sosok yang begitu ceria dan penuh semangat, selalu membawa kehangatan setiap kali berada di sekitar Bhumi. Tetapi, di balik senyumannya, Bhumi bisa melihat potensi luka yang mungkin akan tumbuh kalau hubungan mereka terus berlanjut tanpa arah yang jelas. Bhumi nggak mau melibatkan Yicel dalam kekacauan perasaannya sendiri—perasaan yang masih terikat pada bayang-bayang masa lalu.
Namun, ada satu hal yang membuat Bhumi merasa bimbang: Yicel sangat suka baca buku. Bhumi tahu betul betapa Yicel selalu merasa bahagia setiap kali menemukan buku baru yang menarik perhatiannya. Dan Bhumi, dengan segala ketulusan, selalu berusaha memenuhi keinginan Yicel dengan menaruh buku-buku yang sekiranya akan disukai oleh anak itu di rak kafe. Kini, waktu ia memutuskan untuk menjaga jarak, Bhumi merasa takut Yicel akan berhenti mengunjungi kafe dan, lebih buruk lagi, berhenti membaca buku, hanya karena dirinya.
Bhumi mengerutkan alis, merasa ada beban yang nggak bisa diabaikan. Bagaimana mungkin ia bisa menjaga jarak dari Yicel, tapi tetap memastikan anak itu mendapatkan kesenangan yang selama ini mereka bagi bersama? Pikiran itu terus berputar di benaknya, sampai akhirnya Bhumi menemukan jawaban yang menurutnya bisa menjadi jalan tengah.
Esok paginya, Bhumi bangun lebih awal dari biasanya. Ia mengambil beberapa buku dari koleksi pribadinya, yang ia beli di toko buku Pak Tahar beberapa waktu lalu, yang ia yakin Yicel pasti bakal suka, dan membawanya ke ruang utama kafe. Dengan langkah hati-hati, Bhumi mulai menata buku-buku itu di anak tangga yang menuju ruangan pribadinya. Setiap buku diletakkan dengan hati-hati, seolah-olah ia sedang menyiapkan hadiah kecil yang nggak terlihat namun penuh arti. Bhumi tahu, Yicel selalu kesulitan menjangkau buku-buku yang ada di rak paling atas, jadi ia sengaja menaruh buku-buku tersebut di tempat yang lebih mudah dijangkau oleh Yicel.
Setelah selesai menata buku-buku itu, Bhumi berdiri sejenak, memandang hasil karyanya. Hatinya sedikit lebih ringan. Mungkin dengan cara ini, ia masih bisa menjaga Yicel dekat tanpa harus terus-menerus berada di sisinya. Yicel mungkin nggak akan tahu bahwa Bhumi yang menaruh buku-buku itu di sana, tapi Bhumi sama sekali nggak masalah. Selama Yicel bisa terus menikmati kegemarannya, Bhumi merasa sudah cukup.
Sebelum kembali ke ruang pribadinya, Bhumi memanggil Praya, "Praya, buku-buku yang ada di anak tangga ini jangan dipindahin kemana-mana, ya. Biarin aja di sini."
Praya hanya mengangguk mengerti. "Oke, Mas Bhumi." Ucapnya sambil mengarahkan jari jempol ke Bhumi.
Bhumi tersenyum tipis. "Makasih."
Setelah memastikan semuanya sesuai rencana, Bhumi kembali ke ruangannya. Kali ini, ia merasa lebih tenang. Meski masih ada jarak yang harus ia jaga, seenggaknya Bhumi tahu kalau Yicel masih bisa menikmati buku-buku dengan genre kesukaannya tanpa memikirkan masalah yang sedang terjadi di antara mereka berdua. Bhumi berharap, suatu hari nanti, waktu dia sudah benar-benar siap, dia bisa kembali ke sisi Yicel tanpa membawa luka lama yang masih mengganjal. Sampai saat itu tiba, Bhumi akan terus menjaga Yicel dari kejauhan, dengan cara-cara kecil yang cuma mereka berdua yang mengerti.