Dua piring nasi goreng mengkudu siap santap di atas meja makan. Kafka sengaja nggak makan duluan karena mau tunggu Jerome selesai (nggak tau selesai ngapain) di kamar mandi.
Kayaknya ada, hampir sekitar 15 menit Kafka dibuat menunggu sampai nasi gorengnya dingin.
"Mau pake ketimun nggak?" Tawar Kafka.
Jerome menengok area kompor di belakang Kafka. Nggak ada satu buah ketimun di sana. "Kalo ketimunnya masih dari dalem kulkas, aku nggak mau." Tolak Jerome dengan nada bicara yang santai, nggak sampai buat Kafka tersinggung.
"Oke, makan yang banyak yaa." Ucap Kafka.
Nasi goreng mengkudu buatan Kafka adalah salah satu comfort food-nya Jerome. Jadi, walaupun lagi nggak mood buat melahap apapun, ia nggak bakal menyia-nyiakan sepiring nasi goreng mengkudu yang enak BANGET itu.
"Cowok kalo makan kayak orang kasian." Itu gambaran Jerome di setiap suapan nasi goreng mengkudu.
Selama menyantap sarapannya, Jerome tetap Jerome yang isi kepalanya penuh tapi ragu untuk berbagi. Sampai akhirnya, ia rasa udah nggak kuat lagi simpan semuanya sendirian. Nggak apa-apa, yang penting berani ngomong dulu, urusan apa tanggapan Kafka, biar nanti dipikirin lagi. "Didi."
"Hmm."
"Aku mau ngomong." Ucap Jerome.
Ini dia yang gua tunggu-tunggu, meeeen. "Ngomong tinggal ngomong. Kan, biasanya juga ngomong." Sahut Kafka.
"Waktu itu di chat aku pernah nanya, kan, ya? kita mau ada rencana adopsi anak bayi apa nggak?"
Dugaan Gama ternyata bener. "Iya, kenapa? Kamu udah mantep banget mau adopsi ya, Jer?" Tanya Kafka tanpa maksud apapun.
"Iya, tapi kalo emang belom bisa dalam waktu dekat ini gapapa, kok. Yang penting kita obrolin aja dulu. Tapi, kamunya mau apa nggak kalo semisal punya bayi lagi?" Jerome berusaha menjelaskan dan memastikan sebisanya tanpa salah kata.
"Adopsi yang bayi tuh, biar dia bisa ngerasain kita yang rawat dari kecil ya, Jer?" Tanya Kafka karena soal adopsi ini awam banget di mata dia.
"Iya, sama takutnya kalo adopsi yang udah gede gitu, susah adaptasi pas di rumah kita karena mungkin bisa aja dia ngerasa nggak enak ke kita."
"Oiya, makes sense sih..., —aku oke-oke aja, tapi, saran aku jangan yang bayi baru lahir banget, Jer, emang kamu tau nyari asi-nya ke mana? Batita aja gimana?" Tawar Kafka.
Nggak ada sahutan keluar dari mulut Jerome.
"Eh, bayi tuh boleh minum susu formula pas umur berapa ya, Jer? Kamu tau nggak?"
Jerome geleng.
Kafka buka beranda website di hp-nya untuk mencari tahu soal pernyataan itu. "Satu tahun katanya, Jer. Berarti gapapa kalo kita mau ambil yang satu tahun, yang penting jangan yang masih minum asi, aku takut." Jelas Kafka.
"Takut kenapa?"
"Nggak tau, takut aja."
Jerome nggak nyangka kalau Kafka seantusias ini. Ia juga jadi ikut semangat. Tau Kafka nggak masalah soal adopsi anak mah, aturan gua ngomong aja dari kemaren. Pikirnya.
"Berarti, kalo mau adopsi bayi, aku harus ambil cuti." Ucap Kafka.
Jerome yang lagi menikmati sisa-sisa suapan nasi gorengnya pun bingung. "Kenapa cuti???"
"Ya, harus dong.. kan nanti siapa yang jagain?"
"Kan, ada aku." Balas Jerome. "Kamu ngomong kayak gitu seolah-olah nggak percaya kalo aku bisa ngurusin anak."
Kafka panik mendengar perubahan nada bicara Jerome. "Hah? nggak gitu, Jer. Maksudnya, kamu, kan, juga udah mau masuk musim balapan lagi—"
"Ya, tapi bukan berarti kamu harus ambil cuti. Ambil aja flight yang cuma sehari-sehari gitu."
"Nggak segampang itu, Jer." Kafka berusaha menahan nada bicaranya supaya nggak meninggi.
"Tapi, aku nggak mau anak aku jadi alesan penghambat kerjaan kamu."
Kafka kaget bukan main mendengarnya. Bisa-bisanya Jerome udah kepikiran sampai ke situ.
Yang tadinya berusaha disabar-sabarin, lama-lama muak juga. "Gila, udah jauh banget mikirnya. Bahkan kalaupun aku harus resign jadi pilot, aku sama sekali nggak keberatan, Jer, sumpah! Emangnya kenapa sih? Kamu nggak suka ya kalo aku urus anak kita? Kamu takut kalo nanti anak kita lebih sayang sama aku? Lebih deket sama aku? Kamu takut ANAK KAMU lebih deket sama aku kayak Gama gitu ya, Jer??? Lagian, aku ambil cuti juga bisa sekaligus ngajarin kamu because this is will be your very first father moment."
"Nggak perlu diajarin juga aku bisa sendiri kok." Sambar Jerome yang masih nggak mau kalah. Bahkan ia lupa akan renungan-renungan di kamar mandi beberapa waktu lalu.
Yang ada di pikiran Jerome itu, dia nggak mau ganggu aktivitasnya Kafka, walaupun nanti mereka punya anak kecil, Kafka tetap bisa melakukan aktivitas atau pekerjaannya kayak biasa. —Tapi, kayaknya Jerome ada salah kata yang buat Kafka jadi salah paham.
"Yaudah, terserah aja deh, kamu maunya gimana, terserah." Kafka menyudahi sesi sarapannya. "Nanti, kalo udah selesai makannya, piringnya taro aja samping tempat cuci piring, biar aku aja yang nyuci." Ia beranjak pergi ke kamar mereka yang terletak di lantai dua. "Niatnya mau ngajak diskusi, malah diajak berantem." Ucap Kafka lirih meninggalkan Jerome di ruang makan sendirian.
Lagi, kan? Lagi, lagi Jerome nggak bisa mengendalikan egonya. Lagi, lagi seolah terlihat bahwa Jerome yang nggak bisa memahami Kafka.
Perkara sepele kalau bukan di tangan yang tepat, bakalan jadi besar.
Jerome meremat celananya. Merasa bersalah (lagi).