Kafka terbangun lebih dulu dibanding Jerome— Ralat. Bukan terbangun lebih dulu, melainkan nggak bisa tidur sampai pagi.
Kafka memperhatikan lamat-lamat suaminya yang masih terlelap. Tangan sebelah kanan untuk menopang kepalanya. Tangan sebelah kiri masih setia usap lembut kedua alis Jerome yang dibawa bertaut oleh alam bawah sadar dengan ibu jarinya dari semalam.
"Morning." Tanpa membuka kedua matanya, suara serak khas bangun tidur milik Jerome mampu menyapa indera pendengaran Kafka.
Kafka balas sapaan kasih pagi itu dengan kecupan kecil di bilah bibir Jerome yang masih mengumpulkan nyawanya kembali. "Met pagi juga, Dadda."
"Kamu bangun dari kapan? kok udah seger banget?" Satu, dua sekon Jerome tunggu. Namun, nggak ada satu jawaban pun keluar dari mulut Kafka. Sekarang, ia disuguhkan Kafka yang sedang menatapnya. "Kenapa?" Tanya Jerome sambil sedikit merapatkan badannya dan melingkarkan satu lengannya di pinggang Kafka.
Kafka sedikit mengerjap kaget melihat Jerome mendusalkan wajahnya di dada Kafka. Kemudian, tangannya dibawa bermain menyisir sela-sela rambut suaminya. "Jer, kalo ada sesuatu yang ganggu pikiran kamu, coba obrolin ke aku sini. Kalo kamu belum dapet jalan keluarnya, siapa tau aku bisa bantu. Walaupun aku belum tau apa yang lagi kamu pikirin belakangan ini, tapi aku bisa ngerasain stresnya kamu yang pelan-pelan udah mulai kasih silent treatment ke aku. Padahal, kan, aku nggak tau ya, kamu lagi kenapa, tapi imbasnya tetep aja aku juga yang kena, karena yang ada di rumah ini, kan, ya cuma aku sama kamu. Aku tuh bingung, Jer. Aku dari kemarin mau tanya, tapi takut nggak seharusnya aku ikut campur masalah kamu, tapi setelah aku pikir-pikir lagi, kenapa nggak harus aku ikut campur?? kan, kamu suami aku ya?" Kafka diam sejenak, mengatur nafas dan berusaha menahan emosinya. "Iya, kan? kamu suami aku, kan, ya?" Tanya Kafka sekali lagi tanpa mengintimidasi.
Jerome sama sekali nggak menanggapi omongan panjang kali lebar kali tinggi Kafka itu. Yang ia lakukan, malah merasa bersalah, tapi bingung gimana cara mulai ngomongnya. Dia nggak sadar kalau udah bikin Kafka merasa sedang diberi silent treatment.
Mungkin memang benar, Jerome cuma terlalu larut dalam pikiran yang seharusnya bisa didiskusikan (kalau mau). Sehingga, lupa, ada emosi dan perasaan di dalam dirinya yang harus dikendalikan.
"Jadwal aku hari ini kosong, jadi kayaknya bakal seharian di rumah, kecuali kalo kamu mau ajak aku pergi ke luar. Atau kalo mau ngobrol-ngobrol santai di rumah aja, feel free yaaa." Ucap Kafka memutus keheningan. "Mau sarapan nasi atau toast?"
"Nasi goreng mengkudu."
Giliran ditanyain soal makanan aja, nyaut lu. Batin Kafka kesal. "Oke, request di-acc ya, pak. Cuci muka dulu sana, biar nanti seger pas sarapan." Perintah Kafka yang sama sekali nggak diindahkan. "Aku mau buat sarapan, boleh dilepas dulu nggaaak ini peluknyaa?" Tanya kafka sambil menusuk-nusuk lengan Jerome dengan jari telunjuknya.
Akhirnya, Jerome bangun dan langsung pergi ke kamar mandi tanpa satu kata pun keluar dari mulutnya.
Kafka jadi nggak enak hati, apa yang tadi dia omongin itu ada yang salah? atau terlalu kasar? atau gimana? KAFKA BINGUNG.