Nunggu Tukang Pot Keliling

Aug 28, 2024

Gara-gara pengakuan dosanya kemarin malam diterima begitu baik oleh yang bersangkutan, rasanya hari ini Yicel mau traktir semua orang di dunia ini minuman kesukaannya, mengingat uang yang dikumpulkan untuk membeli pot baru sudah lumayan banyak tapi tetap belum cukup. Dan, kayaknya nggak akan terpakai lagi.

Warkop Abah adalah tempat pertama yang Yicel tuju setelah selesai dengan hari panjangnya di sekolah. Kali ini rencananya ia akan memesan tiga bungkus minuman teh tarik yang dikemas menjadi es cekek. Dua porsi diikat dengan karet dan dimasukkan ke dalam satu kantong plastik bening, yang satu porsinya lagi langsung ia minum.

Waktu itu, Yicel pernah ajak Raleigh ke warkop, dan Raleigh pesan es teh tarik. Besoknya Yicel jadi bertanya-tanya seenak apa sih teh tarik? kok orang-orang pada doyan?? Akhirnya dengan rasa penasaran dan nekat, dia coba pesan teh tarik.

Reaksi Bu Nur waktu denger pesanan Yicel, "Kamu, kan, alergi susu sapi? Atau cobain sedikit dulu di gelas kecil ya, Cel? Saya takut kamu sakit perut terus nanti warkop saya yang kena kasus lagi." Ucap Bu Nur dengan maksud khawatir dan sedikit bercanda soal kasus.

Yicel menuruti perkataan Bu Nur. Setelah menenggak satu gelas kecil berisi teh tarik hangat, ternyata rasanya beneran enak. Pantesan orang-orang suka. Lima menit berlalu, nggak ada reaksi apa-apa dari tubuh Yicel. Yang artinya dia nggak akan mati cuma karena minum minuman teh campur susu ini. Semenjak hari itu dia jadi suka teh tarik. Dia juga nggak kasih tahu orangtuanya kalau dia bisa minum teh tarik.

Bhumi tersenyum lebar dan segera melepas kesibukan menyusun buku di rak waktu melihat Yicel keluar dari pintu warkop sebrang. Semua dinding bagian depan bangunan kafe memang hanya dilapisi kaca fasad yang memberikan tampilan transparan dan memungkinkan cahaya alami masuk ke dalam bangunan. Makanya, sedari jam kepulangan sekolah Yicel tadi, Bhumi nggak berhenti bolak-balik memantau kedatangan Yicel dari dalam kafe.

"Mas Prayaaaa!" Seperti biasa, kalau Yicel mampir ke kafe Bhumi, pasti lah Praya yang akan mendapat sapaan super heboh itu.

Sampai kadang Praya lebih milih nggak menanggapi sapaan itu dan pura-pura nggak kenal Yicel. Masalahe aku sing nanggung isine. Dia sih... kayak'e wes ora duwe isin. (Masalahnya yang nanggung malunya tuh aku. Dia sih kayaknya udah nggak punya malu.) Kira-kira begitu isi hati Praya setiap kali dihadapkan dengan tingkah konyol Yicel.

Nggak mau menganggu yang lagi sibuk menjadi pelayan, jadi Yicel taruh teh tarik jatahnya Praya di dekat meja kasir.

"Udah selesai sekolahnya?" Sapa Bhumi hangat.

Tapi sedikit bertolak belakang dengan tanggapan Yicel. "Kocak banget nanya kayak gitu. Kalo belom selesai, berarti sekarang saya lagi bolos menurut Mas Bhumi????" Dia ngoceh sambil kasih teh tarik ke Bhumi.

Bhumi terima minuman itu sambil pikir-pikir lagi omongan Yicel, iya juga ya?

Mereka berdua sama-sama menikmati es teh tariknya masing-masing. Sampai Bhumi tersadar yang mereka minum itu teh tarik. Iya, Teh tarik. TEH PAKAI SUSU. Nggak pakai pikir panjang lagi, Bhumi langsung tarik plastik cekek teh tarik punya Yicel.

"WOY! APAANSI LAGI ENAK-ENAKNYA NYEDOT JUGA!!" Jelas yang punya ngamuk.

Jangan ditanya sepanik apa muka Bhumi sekarang. Dia tarik tangan Yicel untuk dibawa ke toilet. Kemudian, dipijat-pijat tengkuk leher Yicel di depan wastafel seolah berkomunikasi kepada seluruh organ tubuh Yicel agar segera membantunya mengeluarkan semua cairan teh tarik yang sudah berhasil sampai ke perut.

Yicel heran, tapi tubuhnya kalah sama yang lebih tua. Mau kabur juga susah. Jadi yang dilakukan Yicel hanya terus meronta-meronta sampai Bhumi sudah nggak sanggup mengunci badannya lagi. "Ah ilah!! Ngapain sih?"

"Kamu minum teh tarik!" Ucap Bhumi sambil mengangkat plastik teh tarik milik Yicel.

Wow, kok ngegas? Yicel melongo. Sekarang yang harus Yicel lakukan adalah; membuktikan di depan mata kepala Bhumi kalau ia akan baik-baik saja setelah menghabiskan satu porsi teh tarik. Tangannya mengadah di hadapan Bhumi. Matanya tertuju pada teh tarik yang masih dicekek erat oleh Bhumi.

"Nggak, Cel." Bhumi menggeleng dan mengangkat tinggi-tinggi teh tarik itu supaya jauh dari jangkauan tangan Yicel.

"Saya bisa minum teh tarik, sumpah. Tanya aja Bu Nur kalo nggak percaya."

Terlihat sepertinya ucapan Yicel memang benar-benar sulit Bhumi percaya.

"Dari tadi saya udah hampir minum setengahnya tapi saya masih baik-baik aja, kan?" Ucap Yicel yang masih berusaha meyakini Bhumi.

Mendengar kalimat itu, perlahan Bhumi renggangkan otot-otot emosi yang sudah terlanjur mekar. Ia amati seluruh badan pemuda di hadapannya dari ujung kepala sampai ujung kaki.

Yicel langsung merebut kembali teh tarik miliknya dari tangan Bhumi. "Dibilang, saya bisa minuk teh tarik, eh Mas Bhumi malah nggak percaya."

"Kok bisa?"

"Lah, au. Sapinya kurang kuat kali. Makanya, nggak ngefek apa-apa di saya."

Bhumi sentil kecil kening Yicel. "Bukan sapinya yang kurang kuat, tapi mungkin karena teh tarik biasanya pake susu evaporasi atau susu kental manis yang proses pemanasan dan pemadatannya bisa mengurangi kadar laktosa. Makanya, waktu masuk ke tubuh kamu mungkin nggak sampe memicu gejala." Jelasnya tanpa melunturkan raut khawatir di wajahnya.

"Ooh... gitu." Jawab Yicel yang baru tahu soal setiap susu sapi di dalam kemasan memiliki proses pengolahan yang berbeda-beda.

"Tapi, meskipun nggak bereaksi apa-apa, kamu harus tetep hati-hati, Cel."

"Duh, ck, iyaa, bawel banget dah orang tua." Ucap Yicel yang langsung kabur ke luar toilet waktu lihat mata Bhumi melotot, dan seberapa berkobarnya api di atas kepalanya.

Hari ini, keduanya tampak lebih bersemangat dari biasanya. Setelah lelah kejar-kejaran, akhirnya mereka berdua pilih untuk duduk di area depan teras sembari menunggu tukang pot keliling melewati trotoar depan kafe.

Sambil menikmati minuman teh tariknya, Bhumi mulai bercerita, seperti biasanya. “Mau tau asal-usul teh tarik nggak?” tanyanya sambil menatap Yicel penuh antusias.

Yicel mengangguk, tersenyum. Dia tahu, ini pasti akan menjadi kisah yang menarik, seperti setiap kisah sejarah yang pernah dia ceritakan padanya.

“Teh tarik ini,” Bhumi memulai, suaranya dalam dan lembut, “asalnya dari Malaysia. Teh tarik pertama kali populer di kalangan imigran India yang kerja di perkebunan teh. Mereka bawa tradisi minum teh dari tanah asal mereka, tapi menciptakan versi yang unik di sini.”

Yicel mendengarkan dengan saksama, seakan setiap kata yang keluar dari mulutnya adalah melodi yang menenangkan. Bhumi melanjutkan, “Habis itu, para penjual teh di warung-warung kecil Malaysia mulai ngembangin teknik menarik teh dari satu wadah ke wadah lainnya supaya bisa menghasilkan buih yang khas. Nah, gerakan ini bukan cuma bikin rasa tehnya lebih lembut, tapi juga jadi semacam pertunjukan yang menarik bagi pelanggan warungnya.”

Yicel bisa membayangkan bagaimana para penjual teh itu dengan cekatan menarik teh dengan penuh keahlian, menciptakan buih yang menggoda, sementara para pelanggan menunggu dengan penuh antisipasi takut-takut tarikannya meleset sehingga mereka nggak jadi menikmatinya karena tehnya tumpah.

"Terus tau nggak?" Bhumi melanjutkan ceritanya, "Teh tarik juga jadi simbol kebersamaan dan kehangatan. Biasanya, Orang-orang dari berbagai latar belakang bakal ngumpul di warung, menikmati secangkir teh tarik sambil berbincang tentang kehidupan, politik, dan cinta mereka."

"Keren, dah. Mas Bhumi bener-bener paham banyak hal ya? Setiap cerita yang Mas Bhumi ceritain tuh selalu kedengeran seru, padahal cuma nyeritain sejarah teh tarik doang. Jadi guru sejarah di sekolah saya aja lah, Mas, gantiin Pak Wahyu." Ucap Yicel sembarangan.