Hari itu Bhumi nungguin Yicel di depan gedung kampusnya. Motor hitam kesayangannya parkir rapi di bawah pohon rindang. Bhumi duduk santai sambil sesekali melihat pintu keluar kampus. Nggak lama, sosok Yicel muncul. Dengan langkah kecilnya, dia jalan tapi matanya tetap fokus ke layar ponsel. Bhumi melirik sekilas, senyum tipis terbit di wajahnya.
"Mas! Udah lama?" tanya Yicel, sambil buru-buru nyamperin.
"Baru aja kok. Ayo naik," kata Bhumi sambil nyodorin helm.
Di atas motor, Yicel duduk manis di belakang Bhumi. Angin senja pelan-pelan menyapu wajah mereka.
Bhumi membawa motor dengan santai, nggak ngebut, menuju tempat makan favoritnya. Dia merasa ada yang aneh. Yicel diem aja, nggak kayak biasanya yang cerewet dan cerita banyak hal. Bhumi intip Yicel lewat kaca spion. Dia nunduk, mukanya serius banget kayak lagi mikirin sesuatu. "Kenapa diem aja? Biasanya bawel," tanya Bhumi akhirnya.
"Nggak pa-pa, Mas. Lagi capek aja kali," jawab Yicel pelan. "Kita jadi mau ke alun-alun?" tanya-nya penasaran.
"Jadi. Belum pernah, kan, kamu makan gudeg paling enak se-umbulharjo?" jawab Bhumi tanpa noleh.
Yicel tersenyum kecil. "Belum. Emang se-enak itu ya, mas?"
"Nanti kamu coba sendiri," jawab Bhumi sambil tertawa pelan.
Sampai di alun-alun, Bhumi parkir di depan angkringan kecil gudeg langganannya. Terakhir makan di sini kayaknya waktu sebelum eyang masuk rumah sakit. Tempatnya nggak banyak berubah. Lampu kuning remang-remang, bangku kayu panjang, dan aroma gudeg yang bikin perut langsung keroncongan.
Mereka duduk di bangku kayu panjang. Dua piring gudeg disajikan dengan ceker yang empuk dan sambal goreng krecek yang menggoda, sate telur puyuh, dan teh hangat yang beruap tipis. Yicel makan dengan lahap, sambil sesekali nyengir ke arah Bhumi. Dia menyendok nasi pelan-pelan, bibirnya mengerucut waktu menyesap teh yang terlalu panas. Rambutnya yang bergerak sedikit ketika angin melewatinya.
Bhumi nggak langsung makan. Matanya justru tertuju pada Yicel yang sibuk dengan piringnya. Tanpa sadar, dia terus memperhatikan setiap gerakannya. Dia perhatikan dengan seksama bagaimana cara Yicel menikmati gudegnya tanpa peduli sekitar, kekehan kecilnya waktu terasa sambal gudegnya terlalu pedas. Itu bukan pertama kalinya Bhumi melihat Yicel seperti ini. Menurutnya, Yicel memang akan seribu kali lipat lebih lucu waktu lagi kunyah makanan. Makanya Bhumi sering sekali menawarkan Yicel untuk makan.
"Mas."
Suara Yicel memotong lamunannya. Bhumi buru-buru mengalihkan pandangannya ke teh di depannya, tapi sudah terlambat. Yicel jelas menangkap tatapan itu.
"Kenapa ngeliatin saya-nya gitu banget?" Yicel bertanya sambil menatap Bhumi langsung. Suaranya ringan, tapi matanya serius, seperti mencoba membaca sesuatu dari wajah Bhumi.
Bhumi menggaruk tengkuknya yang nggak gatal itu. "Nggak. Kamu aja yang ge-er."
Dih???? Yicel nggak berhenti di situ. Dia taruh sendoknya, lalu memutar badan menghadap Bhumi. "Serius, mas. Saya notice tau, Mas Bhumi tuh kayaknya emang suka banget ya ngeliatin saya makan gini? Ngeliatinnya tuh bukan cuma sekilas, tapi bener-bener ngeliatin gitu. Muka saya pas lagi ngunyah pasti kocak banget ya, Mas?"
"Nggak kok." Sebenarnya Bhumi juga nggak tahu harus jawab apa. Mau langsung bilang 'lucu' tapi, kan, aneh juga didengernya.
"Jujur aja," lanjut Yicel, suaranya lembut tapi langsung menusuk. Karena kalau Yicel boleh jujur, malu banget tahu dilihatin pas lagi makan. Apa lagi dilihatin sama orang yang kita suka, yang ada malah bikin dia semakin jaga image waktu makan. "Kalau saya nggak suka kamu, mungkin aja saya nggak peduli. Tapi karena saya suka kamu, makanya saya penasaran." Dia berhenti sebentar, matanya masih terkunci di mata Bhumi. Tapi dia baru sadar, kenapa malah kata-kata itu yang keluar dari mulutnya?
"Eumm... Maksudnya, kenapa liatin saya terus?" tanyanya pelan. Yicel sedikit salah tingkah, tapi udah terlanjur gini mah lanjut aja. "Apa jangan-jangan Mas Bhumi udah beneran suka sama saya? Hmmm... Atau karena Mas Bhumi tau saya suka sama Mas Bhumi? Ihh.. nggak tau lah. Apaan sih, Mas, maksudnya??"
Bhumi membuka mulutnya, tapi nggak ada kata yang keluar. Dia cuma bisa diam mendengarkan, sementara Yicel melanjutkan.
"Yaudah dehh... kalo Mas Bhumi nggak mau jawab, saya kasih pertanyaan satu lagi nih. Yang kali ini serius dan harus dijawab."
"Apa?"
"Sejauh ini, Mas Bhumi anggep kita apa?"
Bhumi kembali terdiam.
"Cuma dua orang asing yang kejebak di satu situasi gitu ya, Mas?" Tanya Yicel sarkas. Yicel menarik napas, lalu tersenyum kecil, senyumnya nggak sepenuhnya bahagia. "Atau... kita nih sebenernya cuma kemungkinan yang nggak pernah berani untuk diwujudin? Saya sih berani, nggak tau kalo Mas Bhumi gimana."
Bhumi menelan ludah, dadanya terasa berat. Dia nggak pernah dengar Yicel ngomong sejujur ini sebelumnya.
"Cuma dua orang yang kebetulan sering ketemu, terus yang satu berharap banget, yang satunya nggak pernah bisa mantep yakinin diri sendiri." Lanjut Yicel, kali ini nadanya pelan, hampir seperti bisikan.
Yicel akhirnya meraih sendok lagi, seolah ingin mengakhiri pembicaraan itu. Tapi sebelum dia mulai makan, dia menambahkan, "Kalau Mas Bhumi ngeliatin saya cuma karena iseng—jangan terlalu gampang bikin saya mikir kita bisa jadi sesuatu. Karena saya tuh mikirnya udah jauh banget tau, Mas. Dan, saya nggak tau gimana cara berhenti mikirinnya."
Suasana berubah sunyi. Bhumi masih terdiam, kata-kata Yicel tadi masih menggema di kepalanya. Dia tahu Yicel nggak main-main, tapi dia sendiri nggak yakin soal apa yang harus dia katakan.Dia mau bilang sesuatu, tapi lidahnya terlalu kelu. Di dalam dirinya, dia nggak mau jadi sekadar kata 'kebetulan' untuk Yicel. Dan mungkin, memang Yicel juga bukan sekadar kebetulan untuknya.
Yicel cuma duduk di sana, memainkan sendok di tangannya, menunggu jawaban yang nggak kunjung keluar dari mulut Bhumi.
Akhirnya, Yicel lagi yang lebih dulu membuka suara. "Mas," panggilnya pelan. "Pernah nggak ada yang beneran sayang sama kamu?"
Bhumi menatapnya, kaget dengan pertanyaan itu. Dia menggeleng pelan. "Nggak pernah."
Yicel menatapnya lama, seperti mencoba memahami sesuatu. Dia menggeleng pelan, seolah nggak percaya. "Masa sih?"
Bhumi tersenyum tipis, tapi ada kepahitan di baliknya. "Yang udah coba dateng, banyak. Tapi yang mereka liat cuma hal-hal yang gampang dipuji dari diri saya, nggak pernah lebih dari itu. Mereka nggak pernah liat apa yang sebenernya saya rasain, apa lagi yang saya pikirin. Yang ngerti saya, ya cuma diri saya sendiri. Dan kalo pun ada yang coba ngertiin, ujung-ujungnya mereka bakal pergi. Mereka takut sama ribet, rusak dan susahnya saya. Mereka semua maunya saya jadi ultraman terus. Padahal saya juga manusia biasa."
Yicel terdiam sejenak, menatap Bhumi dengan sorot mata yang lembut tapi tegas. "Saya nggak tuh. Saya bukan salah satu dari mereka." tatapannya nggak lepas dari Bhumi. Yicel ambil satu tangan Bhumi. Semua jemarinya dilipat sampai hanya jari telunjuk yang tersisa. Kemudian dia bawa telunjuk itu untuk menunjuk wajahnya sendiri. "Dia nih, Mas... Dia ngerti, dia mau ngehargain semua usaha kamu yang selalu dianggep rusak sama orang-orang itu, dia mau bantu kamu pelan-pelan susun puzzle-puzzle kaca yang udah hancur itu."
Bhumi menelan ludah, suaranya bergetar ketika dia berkata, "Tapi, gimana kalo kepingan puzzle-nya terlalu tajam terus malah nyakitin dia?"
Yicel mencondongkan tubuhnya sedikit, suaranya rendah tapi penuh keyakinan. "Nggak pa-pa. Dia nggak takut sakit, dia nggak takut darah. Berdarah sedikit bisa diobatin, kan? Yang dia takutin itu cuma satu, kehilangan suatu kemungkinan yang nyata cuma karena dia terlalu pengecut buat terus coba yakinin orang yang punya puzzle-nya." Yicel menghela napas, matanya nggak lepas dari Bhumi. Sejenak, dia seperti ragu untuk bicara, "Dia bukan anak kecil lagi, Mas. Dia bukan tipe orang yang gampang lari dari sesuatu cuma karena itu nggak sempurna dan nggak sesuai ekspektasi dia. Dia ngerti kalo di dunia ini nggak ada yang bener-bener kuat untuk kekal utuh.”
Kata-kata itu menusuk Bhumi, dalam dan sangat sulit untuk dihindari. Untuk pertama kalinya, dia merasa kalau mungkin, hanya mungkin, Yicel benar-benar berbeda dari semua orang yang pernah dia kenal.
Yicel lepas tangan Bhumi yang dari tadi dia pegang. “Denger, Mas. Saya nggak bilang kalo saya nggak takut. Saya juga aslinya mah takut, tapi bukan takut sakit, sedih, atau apa. Saya takut nyesel karena nggak ngelakuin sesuatu yang harusnya saya perjuangin.”
Bhumi menatapnya lebih lama, berusaha mencari kepastian di balik senyum Yicel. Tapi yang dia temukan hanyalah kehangatan dan keteguhan. Dan untuk pertama kalinya, Bhumi merasa kalau mungkin Yicel nggak akan pergi. Bahwa mungkin, Yicel juga lah orang yang selama ini dia tunggu.
Obrolan mereka ngalir santai, ditemani suasana alun-alun yang mulai ramai. Setelah selesai makan, Bhumi mengajak Yicel untuk pulang ke kost-nya. Dalam perjalanan, mereka ngobrol ngalor-ngidul sampai akhirnya motor Bhumi berhenti di depan kost Yicel.
Bhumi mematikan mesin motor di depan kost Yicel. Lampu teras kostnya remang-remang, tapi cukup untuk melihat wajah Yicel yang tampak tenang. Bhumi menatapnya beberapa saat sebelum akhirnya bertanya, "Orang tua kamu tuh tau nggak sih kamu ngekost di sini?" Tanya-nya sambil melepas helm.
Yicel geleng kecil. "Nggak. Papa sama Ayah taunya saya ngekost di depan." tangannya juga sibuk melepas pengait helm tapi agaknya nggak kunjung lepas.
Bhumi mengernyit, alisnya sudah menyatu, menunjukkan rasa heran. "Maksudnya gimana?" Dia bantu yang kesusahan melepas pengait helm itu.
Yicel mengangguk, mulai menjelaskan sambil melipat helm di pangkuannya. "Jadi tuh awalnya saya, Papa, sama Ayah, kan, udah survei kost-kostan bareng. Terus udah dapet tuhhh yang di depan, enak, luas, kamar mandi di dalem, udah cocok banget, udah sesuai lah. Malah udah bayar sewa buat tahunan juga. Terus kita pulang ke Jakarta, kan waktu itu nyari kostnya jauh sebelum hari masuk kuliah."
Bhumi tetap menatapnya, menunggu kelanjutan cerita.
"Nah, waktu H-7 kuliah, kan saya balik ke sini sendiri. Pas saya mau minta kunci ke ibu kost, tiba-tiba dia ngasih amplop duit. Uang sewa saya dibalikin masa, mas!!!" Ucap Yicel sedikit kesal tapi tetap antusias bercerita, lalu melanjutkan dengan senyum miring. "Katanya kamar saya ada yang mau bayarin, nominalnya lebih tinggi dari saya."
Bhumi menggeleng pelan, wajahnya semakin bingung. "Terus?"
"Untung aja, mas-mas kamar sebelah waktu itu nolongin. Dia saranin saya ngekost di sini. Ya udah, daripada saya luntang-lantung nggak jelas kan? Lagian, ini lebih murah, uang sisanya bisa saya pakai buat jajan. Hehe," ujarnya sambil nyengir kecil.
Bhumi akhirnya menghela napas. "Kenapa nggak bilang dari awal?"
"Nanti Mas Bhumi ngadu ke Ayah. Nanti mereka malah ribet suruh saya pindah lagi pasti," Yicel berkata sambil menunduk.
"Ya, Ayah sama Papa juga pasti nangis kalo tau anaknya tinggal di sini." Bhumi masih menatap Yicel. Dalam hati dia bergumul dengan perasaannya, antara marah, khawatir, atau mungkin juga sedikit cemas?
"Parah banget ihh!! Nggak boleh ngerendahin usaha orang lain tauuu. Bayangin kalo saya nggak ngekost di sini, pasti itu pendapatan yang punya kostnya juga jadi berkurang, kan?" Ucap Yicel sebelum melangkah ke arah pintu kost-nya. Tapi langkahnya berhenti tiba-tiba. Dia menoleh ke Bhumi, matanya serius. "Mas, makasih ya... udah anterin pulang."
Bhumi diam, menatap Yicel lama tanpa berkata apa-apa.
Yicel merasa sedikit gelisah melihat tatapan itu, tapi dia berusaha tetap tersenyum. "Udah, Mas. Saya masuk dulu. Hati-hati di jalan," ujarnya sambil melambaikan tangan.
Bhumi mengangguk dan menyalakan motor. Tapi baru beberapa detik setelah Yicel membuka pintu kost, Bhumi mematikan mesin motornya lagi dan turun. Dia berjalan cepat menghampiri Yicel, membuat Yicel berbalik dengan bingung.
"Kenapa, Mas?" tanyanya, bingungnya belum terjawab Bhumi tiba-tiba memeluknya erat.
Pelukan Bhumi hangat dan penuh kelegaan, seperti sedang mencoba menyampaikan sesuatu lewat pelukannya. Yicel membeku sejenak, tapi kemudian balas memeluknya dengan perlahan.
"Yicel," suara Bhumi rendah, hampir seperti bisikan. "Habis ini kalau ada apa-apa atau kamu butuh sesuatu, kasih tau ke saya, ya. Saya juga mau tau."
Yicel yang masih butuh memproses semua ini cuma bisa mengangguk kecil, menekan pipinya ke dada Bhumi, mendengar detak jantungnya yang tenang.
Bhumi mengeratkan pelukannya, mendekatkan tubuh mereka seolah nggak mau ada jarak sedikit pun. "Jangan jauh, saya seneng liat kamu." katanya dengan suara serak. "Saya nggak mau kamu jauh. Temenin saya terus ya?"
"Iyaa... Kan, ini udah di sini saya-nya." Yicel menjawab pelan sambil kasih usapan penenang untuk Bhumi.
Bhumi menahan napas sejenak, hatinya terasa penuh. Dia tanpa sadar mengecup lembut puncak kepala Yicel. "Makasih banyak ya."
Yicel tersenyum kecil, matanya terpejam, menikmati kehangatan itu. "Kalo Mas Bhumi butuh saya, panggil aja. Nanti saya kasih badan saya seutuh-utuhnya, nih." Ucapnya tanpa ragu setelah melepas pelukan. "Saya punya pelayanan paket lengkap. Tapi kalo Mas Bhumi kurang puas sama pelayanannya, nggak ada refund, ya. Soalnya saya susah payah nih bangun usahanya."
Bhumi tertawa kecil, memeluknya lebih erat lagi, seperti layaknya dunia di luar mereka bukan bagian yang penting lagi. Detak jantung Yicel terasa seperti irama yang seirama dengan miliknya. Rasanya Bhumi nggak mau cepat-cepat melewatkan malam ini.