Sudah Berteriak, Tapi Tetap Terdengar Sunyi

Jan 27, 2025

CW/TW: Depression, self-isolation, mention of suicidal thoughts.

Saat pesanan gudegnya siap, Bhumi langsung tancap gas menuju kost Yicel. Sejujurnya, dia panik bukan main. Di satu sisi, dia mengira kalau Yicel masih marah padanya, tapi di sisi lain, dia juga khawatir karena Yicel biasanya nggak susah dihubungi seperti ini.

Sesampainya di lantai tempat kamar Yicel berada, Bhumi mengetuk pintu berulang kali, tapi tak kunjung mendapat jawaban. Untungnya, pintu kost Yicel yang baru ini sudah menggunakan smart door lock, dan sidik jari Bhumi sudah didaftarkan sejak Yicel resmi pindah. Hal itu sangat memudahkan Bhumi di situasi seperti ini.

Pintu terbuka, menandakan Yicel belum menghapus sidik jari Bhumi dari sistem. Bhumi disambut oleh suasana kamar yang sunyi. Keadaan kamar Yicel masih seperti biasanya—bersih, rapi, dan wangi.

Melihat Yicel meringkuk dalam selimut menghadap tembok, Bhumi semakin khawatir. Dia mendekati Yicel untuk mengecek suhu tubuhnya, dan ternyata Yicel demam. Bhumi segera berdiri untuk menaikkan suhu pendingin ruangan agar nggak terlalu dingin, lalu mencari wadah dan kain apa pun yang bisa digunakan sebagai kompresan. Dengan telaten, dia mengompres dahi Yicel.

Namun, tidurnya yang lelap terganggu ketika Bhumi mencoba meluruskan posisi tubuhnya. Yicel mengerang pelan dan mengerutkan alisnya.

Bhumi mengusap lembut alis Yicel. "Jangan dikerutin, nanti tambah pusing."

Suara Bhumi yang masuk ke indera pendengaran Yicel membuatnya perlahan membuka mata. Begitu melihat sosok Bhumi, Yicel hanya menyeringai tipis sebelum kembali memejamkan mata dan membalikkan badan menghadap tembok.

Beberapa saat kemudian, Bhumi mendengar isakan kecil. Melihat tubuh Yicel bergetar halus, dia segera mendekat. "Shhh..."

"Nggak mau!" Yicel menepis tangan Bhumi yang ingin mengusap lengannya.

Bhumi terkejut dengan penolakan itu.

"Aku udah bilang kan kemarin? Aku bilang jangan dateng lagi ke mimpi aku... karena itu cuma bikin aku sedih! Aku nggak mau ketemu Mas Bhumi kalau cuma di mimpi," racau Yicel.

Bhumi terdiam. Oh, jadi Yicel mengira kalau keberadaannya sekarang hanya mimpi. Bhumi mulai bertanya-tanya sudah berapa kali dia hadir di mimpi Yicel hingga yang lebih muda begitu marah sekarang.

Tangis Yicel semakin terdengar kacau. Bhumi perlahan mengusap rambut Yicel yang menutupi wajahnya. "Ini kamu nggak lagi mimpi, kok...," ucapnya lembut.

Setelah beberapa detik, Yicel akhirnya berbalik badan, menatap Bhumi dengan mata berkaca-kaca. Ia mencoba duduk meskipun tubuhnya masih terasa lemas.

Bhumi menggenggam tangan Yicel erat-erat. "Ini bukan mimpi, Cel... ini beneran aku."

Yicel masih diam sejenak, membiarkan kata-kata Bhumi menggantung di udara. Perlahan, ia mengulurkan tangan, menyentuh lengan Bhumi, seolah ingin memastikan bahwa kehadirannya nyata. "Beneran?"

Bhumi tersenyum sabar, menggenggam tangan Yicel erat. "Serius. Nih, Mas bawa bukti kalau ini bukan mimpi." Ia membuka kantong plastik yang sedari tadi ia bawa, memperlihatkan nasi gudeg hangat dengan aroma khas yang menggoda. Dia menatap mata Yicel dalam-dalam, menunggu hingga Yicel mengangguk pelan. "Tadi Mas beliin nasi gudeg. Makan dulu, yuk. Habis itu minum obat, baru boleh tidur lagi kalau mau."

Yicel menatap nasi gudeg itu, lalu menatap Bhumi lagi. Ia menghela napas lega dan mengusap matanya yang masih berair.

Bhumi menyendokkan sesuap nasi gudeg dan menyuapkannya ke dalam mulut Yicel dengan penuh kesabaran. Di setiap suapan, Bhumi memperhatikan wajah Yicel yang tampak lebih tirus dari terakhir kali mereka bertemu. Mata Yicel yang biasanya berbinar kini terlihat sedikit sayu, dan Bhumi merasa sedikit bersalah karena nggak bisa selalu ada di dekatnya.

Di suapan keenam, Yicel menggeleng lemah sambil mendorong pelan tangan Bhumi yang sudah mengarahkan sendok ke mulutnya. "Udah, Mas."

"Satu lagi, ya?" Bhumi mencoba membujuk.

Yicel menatapnya kesal. "Ah, dari tadi satu lagi terus, tapi nggak selesai-selesai!"

Bhumi terkekeh pelan, meletakkan sendok ke dalam wadah nasi dan mengusap lembut kepala Yicel. "Iya deh, iya. Tapi minum obatnya habis ini, ya?" Lalu menyodorkan gelas berisi air putih dan obat sirup penurun demam.

Setelah minum obat, Bhumi membantu Yicel berbaring kembali. Mereka hanya saling menatap selama beberapa saat sebelum Yicel bergeser, memberi ruang untuk Bhumi di sampingnya. "Sini," ucapnya sambil menepuk kasur.

Bhumi pun merebahkan diri, melingkarkan satu tangan di pinggang Yicel, menatap wajah Yicel yang akhirnya terlihat lebih tenang.

"Kenapa pagi banget ke sininya?" tanya Yicel dengan suara serak.

"Sengaja, biar bisa ketemu kamu lebih lama," jawab Bhumi sambil tersenyum lembut, jari-jarinya mengusap punggung Yicel dengan gerakan yang menenangkan.

"Kangen banget ya sama aku?" tanya Yicel, suaranya pelan, namun tetap percaya diri.

Bhumi tersenyum, mengangguk samar. "Hmm... Soal kemarin... maafin Mas, ya? Tapi boleh nggak aku tau cerita kamu sama kakek?"

Yicel menatap Bhumi sejenak, ragu, sebelum akhirnya menghela napas dan mulai bercerita dengan suara pelan. Ia menceritakan tentang hubungannya yang kurang baik dengan kakeknya, tentang tekanan yang ia rasakan karena nilai akademiknya yang nggak sesuai harapan sang kakek. Setiap kata yang keluar terasa berat, tapi di sisi lain, ia juga merasa lega akhirnya bisa berbagi.

Bhumi mendengarkan dengan saksama, merasa bersalah karena sebelumnya nggak memahami beban yang selama ini Yicel pikul sendirian. Bahkan dia nggak sampai mencoba memposisikan dirinya untuk berada di sepatu yang sama dengan Yicel. "Semua ketakutan kamu itu valid, Cel. Maaf ya? Mas baru ngerti sekarang." Suaranya terdengar tulus, penuh penyesalan.

Setelah beberapa menit berlalu, Bhumi kembali berbicara dengan suara lembut. "Kalau kamu juga mau ceritain apa yang lagi kamu rasain sekarang, itu membantu aku untuk merasa lebih deket lagi sama kamu. Boleh nggak kita ngobrol tentang apa yang ada di pikiran kamu akhir-akhir ini?"

Yicel menggigit bibir bawahnya dengan kuat, seolah itu bisa menahan semua rasa sakit yang bertumpuk di dalam dirinya. Matanya menatap kosong ke arah Bhumi, namun sorot matanya terasa jauh, seolah dia sedang melihat sesuatu yang jauh lebih dalam dan gelap daripada sekadar ruangan di sekitarnya. Seluruh tubuhnya terasa kaku, beban di dadanya semakin berat, dan dia merasa seolah tak ada jalan keluar. Suasana hening menyelimuti mereka, hanya ada suara napas Yicel yang sedikit terengah-engah. Setelah beberapa detik yang terasa seperti selamanya, dia akhirnya membuka mulutnya, namun suaranya terdengar sangat lemah, hampir seperti bisikan. "Aku bahkan bingung gimana caranya bikin kamu ngerti soal apa yang lagi aku rasain belakangan ini," katanya, nada suaranya begitu rapuh, penuh keraguan. Kata-katanya keluar begitu sulit, seolah setiap suku kata yang terucap terasa seperti batu yang jatuh di dasar laut.

"Aku nggak bisa buat siapa pun ngerti soal apa yang lagi terjadi sama diri aku," lanjutnya dengan napas pendek, menahan emosi yang ingin meledak. "Aku bahkan nggak bisa ngejelasin ke diri aku sendiri." Suaranya sedikit terhenti, seakan sedang mencari kata-kata, mencoba merangkainya, tapi tak menemukan cara untuk menggambarkan rasa yang begitu sulit dipahami. Wajahnya terlihat lelah, penuh kebingungan, dan semakin terperangkap dalam perasaannya sendiri. "Rasanya aku udah sekarat perlahan-lahan," katanya pelan, suaranya penuh keputusasaan, mengalir dari dasar hatinya yang paling dalam. "Nggak ada yang tau apa yang lagi aku rasain, karena aku sendiri yang nggak bisa ngejelasinnya," lanjutnya dengan suara hampir bergetar.

Dia menundukkan kepala sejenak, menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya, tapi rasanya sia-sia. "Aku bingung mau mulai cerita dari mana," katanya, nada suaranya penuh kebingungan dan patah hati. "Aku selalu kepikiran hal yang nggak seharusnya aku pikirin di setiap waktu, tapi aku nggak tau gimana cara berhenti mikirinnya." Pandangannya kembali kosong, nggak fokus, seperti berusaha menggapai sesuatu yang tak sampai di pandangannya. "Aku udah nggak bisa ngerasain emosi apa pun lagi, malah kayaknya aku udah mati rasa," lanjutnya, suaranya kini lebih hampa. Setiap kata yang keluar menunjukkan bahwa dia merasa semakin jauh dari dirinya sendiri.

"Semenjak Mas Bhumi ke Jakarta," kata Yicel, suara itu sedikit pecah, seperti ada air mata yang ingin jatuh, tapi ia tahan sekuat tenaga. "Yang aku rasain cuma semakin kosong dan semakin sepi," lanjutnya, dengan nada yang semakin berat, semakin tenggelam dalam kesedihan. "Rasa sakit di dalam diri aku udah sampe di tingkat di mana aku mencoba mengubah rasa sakit mental menjadi rasa sakit fisik, tapi trik ini kayaknya udah nggak mempan lagi," ucapnya dengan nada frustasi, suaranya mulai bergetar, menandakan bahwa dia sudah kehilangan harapan.

"Orang-orang di sekitar selalu berusaha nolongin aku sampe capek, tapi ternyata emang akunya yang susah atau bahkan nggak bisa ditolongin sekarang," lanjut Yicel, suara serak. Setiap kata yang diucapkannya terasa seperti beban yang semakin menekan dadanya. "Aku capek banget, Mas," ucapnya pelan, hampir nggak terdengar, seolah hanya ada sedikit kekuatan yang tersisa dalam dirinya. "Aku cuma mau tidur aja yang lama..." Suaranya semakin redup, seperti ingin lari dari kenyataan yang menghantui.

Masih ada kalimat terakhir yang sudah hampir keluar dari bibirnya, terasa sangat berat. "--Tidur di dalem peti mati," kalimat itu hanya berhenti sampai di tenggorokannya, seakan ada kekuatan yang menahannya untuk mengatakannya lebih lanjut. Tubuhnya kaku, dan ekspresinya berubah seperti sebuah kenyataan yang gelap sedang berputar di dalam kepalanya. Dia menelan kata-kata itu, menahan semuanya, dan hanya diam, matanya yang kosong kini menatap Bhumi, seakan meminta pengertian yang tersirat, sebuah permohonan agar seseorang bisa mengerti betapa gelapnya perasaan yang sedang dia alami.

Bhumi merasa dadanya sesak mendengar ucapan Yicel. Ia menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri sebelum merespons. Bhumi tahu ini bukan saatnya untuk memberikan nasihat panjang lebar atau mencoba memaksa Yicel untuk merasa lebih baik. Yang bisa ia lakukan sekarang adalah ada di sini, untuknya. Ia meraih tangan Yicel dengan lembut, menggenggamnya erat seolah ingin menunjukkan bahwa ia nggak akan pergi ke mana-mana. "Masih bisa... Masih bisa ditolongin. Aku nggak akan capek. Ada aku... Sekarang ada aku. Aku mau temenin kamu kayak kamu yang selalu temenin aku di setiap hari sulit yang aku lewatin kemarin."

Yicel menatap Bhumi dengan mata yang terlihat lelah, tapi dalam tatapan itu ada secercah harapan yang samar. "Tapi aku capek, Mas... aku capek banget. Aku udah coba, tapi semuanya tetep aja rasanya berat."

Bhumi mengangguk pelan, ibu jarinya mengusap punggung tangan Yicel dengan gerakan menenangkan. "Nggak apa-apa kalau kamu capek. Nggak apa-apa kalau kamu ngerasa semuanya berat. Tapi, kamu nggak harus ngelaluin semuanya sendirian sampai sakit begini."

Yicel terdiam, kelopak matanya mulai basah. Perlahan, Bhumi menarik tubuh Yicel ke dalam pelukannya. Nggak ada kata-kata yang perlu diucapkan saat itu. Keheningan yang melingkupi mereka cukup untuk membuat Yicel tahu bahwa masih ada seseorang yang peduli padanya.

Bhumi terdiam, matanya terasa panas mendengar kata-kata Yicel. Ia merasakan seberapa dalam luka yang sedang Yicel alami. Dengan penuh kehati-hatian, ia menyentuh pipi Yicel, mengusapnya lembut. "Cel... Aku tau ini sulit buat kamu. Aku nggak akan bilang aku ngerti sepenuhnya, tapi aku mau dengerin kamu. Aku mau jadi orang yang bisa kamu percaya buat cerita apa pun yang kamu rasain. Dan aku di sini bukan buat minta kamu untuk kuat atau bilang semuanya bakal baik-baik aja dalam sekejap. Aku cuma mau kamu tau kalau aku sayang sama kamu, dan aku mau selalu ada buat kamu."

Yicel nggak menjawab apa pun, tapi air matanya mengalir deras di pipinya. Bhumi memeluknya erat, memberikan kehangatan yang selama ini terasa asing bagi Yicel.

Bhumi mengecup puncak kepala Yicel dengan penuh kasih sayang.

Yicel hanya tersenyum kecil, matanya masih berkaca-kaca sebelum akhirnya ia kembali merapat ke pelukan Bhumi. Di sana, ia merasa nyaman dan aman, seolah semua beban yang selama ini menghimpitnya perlahan berkurang.

Bhumi tetap menggenggam tangannya erat, sebagai janji bahwa ia akan tetap ada di sisi Yicel. "Kamu udah mulai ngerasa nggak enak badan dari kapan?" tanya Bhumi dengan suara lembut, namun ada kecemasan yang nggak bisa dia sembunyikan. Dia mengamati Yicel, yang tampak sedikit terkulai di atas kasur dengan wajah yang terlihat lelah.

"Kayaknya dari kemarin malem," jawab, Yicel pelan.

"Kenapa nggak ngabarin?" tanya Bhumi lagi, matanya memancarkan rasa khawatir yang semakin mendalam. Dia merasa terkesan dengan sikap Yicel yang sering kali lebih memilih menanggung rasa sakit sendirian, bukan untuk pertama kalinya.

"Nggak mau bikin Mas khawatir." jawab Yicel, memalingkan wajahnya ke samping, menyembunyikan rasa sakit yang semakin membebani tubuhnya. Tapi, sesaat setelah itu, dia menyesal. Betapa dia ingin bisa bercerita lebih banyak, tetapi rasa takut untuk menyusahkan Bhumi selalu menghantuinya.

"Kalau aku nggak khawatir, tandanya aku nggak sayang sama kamu." Bhumi menyahut dengan suara yang sedikit lebih keras, namun lembut di ujung kata.

Yicel terdiam. Senyum kecil yang terlontar dari bibirnya menyiratkan perasaan terharu. Selama ini, dia selalu berusaha mati-matian untuk menjadi sosok yang kuat, tetapi sekarang, di hadapan Bhumi, dia merasa lemah dan ingin menyerah pada rasa nyaman yang ada di dekat pria itu. Nyatanya memang kehadiran Bhumi lah yang paling dia butuhkan.

"Mas di sini sampai kapan?" tanya Yicel, sedikit mengalihkan topik, meskipun dalam hatinya, dia tahu bahwa pertanyaan itu hanya sebagai cara untuk menutupi perasaan yang mulai kacau.

"Sampai Rabu mungkin, aku ada kerjaan dulu soalnya," jawab Bhumi, sesekali mengalihkan pandangan ke jendela, tetapi tetap memperhatikan Yicel dengan cermat.

Ada sedikit rasa kecewa yang mengusik hati Yicel. Di benaknya, dia berharap bisa menghabiskan waktu lebih banyak bersama Bhumi tanpa gangguan pekerjaan. Ternyata, Bhumi datang lebih untuk urusan pekerjaan daripada untuk dirinya.

"Senin-Rabu ada meeting buat program baru perusahaan. Mumpung aku lagi di sini, jadi aku yang jadi perwakilan kantor cabang Jakarta." Bhumi mencoba memberikan penjelasan sejelas mungkin, tetapi siapa pun yang mendengarnya pasti bisa merasakan ada keinginan Bhumi untuk menutupi bahwa kehadirannya kali ini memang lebih untuk pekerjaan daripada waktu untuk berdua bersama Yicel.

Yicel hanya mengangguk pelan. Rasa kecewa itu seperti menyesap sedikit demi sedikit, tetapi dia mencoba menyembunyikannya. Ternyata, semua rencananya untuk menghabiskan waktu lebih lama dengan Bhumi terasa sia-sia jika hanya untuk urusan pekerjaan.

Bhumi, yang bisa merasakan perubahan kecil di wajah Yicel, merasa sedikit bersalah. "Kenapa emangnya?" tanya Bhumi, melihat Yicel yang tiba-tiba terdiam, seolah terperangkap dalam pikirannya sendiri.

Yicel menggelengkan kepala pelan, "YAELAAAH PAKE NANYA," dia berusaha menahan emosi yang mulai tumbuh. "Gapapa, aku kira kita bakal punya waktu." Suaranya pelan, namun terdengar pahit.

Bhumi, yang memegang erat perasaan Yicel, merasa seperti mendapat sinyal tentang apa yang terjadi di dalam hati Yicel. "Meetingnya palingan cuma 2 jam kalau lancar. Habis itu, aku bisa punya waktu lebih lama buat kamu," kata Bhumi, mencoba memberikan kepastian dengan nada yang penuh keyakinan.

Yicel mengangguk, mengangkat sedikit sudut bibirnya, berusaha tersenyum meskipun senyum itu tampak dipaksakan.

"Eh, mau hitung hasil angka 1-nya kapan?" tanya Bhumi tiba-tiba, mencoba mengalihkan perhatian Yicel supaya nggak terlalu larut dalam perasaan yang mengganggu.

"Nggak tau. Aku sekarang suka lupa nambahin ke notes-nya," jawab Yicel, sedikit tertawa canggung. "Soalnya, setiap kali aku kangen sama Mas, aku nangisin aja sampe capek, terus tidur," lanjutnya dengan suara yang semakin pelan, seolah mengungkapkan rasa yang selama ini disembunyikan.

"kenapa nggak telfon aku aja kalo kangen?"

"Takut ganggu. Aku lebih seneng kalau Mas yang telepon, jadi aku nggak perlu takut kepikiran ganggu kamu kerja," jawab Yicel dengan suara yang hampir tidak terdengar.

Bhumi menghela napas panjang, merasa sedikit bersalah. "Ya udah, nanti aku yang telepon duluan. Tapi tolong, angkat ya? Jangan kayak tadi lagi, aku khawatir banget. Takut kamu kenapa-kenapa. Atau kalau memang nggak bisa angkat, kasih tau aku kamu kenapa, lagi apa, jadi aku bisa tenang dan ngerti kalau teleponnya belum bisa diangkat," kata Bhumi dengan penuh perhatian.

"Iyaa," jawab Yicel, merasa tenang mendengar janji Bhumi. Dia kembali merapatkan tubuhnya ke dalam pelukan Bhumi yang hangat. Di sana, dia merasa terlindungi, merasa seperti dunia ini milik berdua.

Namun, tiba-tiba Yicel merasa tubuhnya semakin nggak nyaman, dan dengan cepat menarik wajahnya dari pelukan Bhumi.

"Kenapa?" Bhumi heran, melihat Yicel yang terlihat resah.

Yicel menggelengkan kepala, tapi setelahnya dia bersin keras, menunjukkan bahwa kondisi tubuhnya memang sedang tidak baik.

"Mau flu ini, kamu," kata Bhumi dengan cemas, sambil mengusap punggung Yicel, berusaha memberikan kenyamanan. "Punya obat flu nggak?" tanya Bhumi, khawatir melihat Yicel yang tampaknya semakin lemah.

"Nggak tau," jawab Yicel pelan, merasa sedikit bingung.

"Coba Mas liat dulu sebentar," kata Bhumi sambil melepaskan pelukan sejenak, kemudian bangun dari tempatnya. Ia berjalan menuju lemari obat, memeriksa dengan teliti, namun tampaknya nggak ada obat flu yang ia cari di sana.

"Ada nggak?" tanya Yicel lagi, suaranya mulai terdengar pasrah.

Bhumi menggelengkan kepala. "Gapapa, nanti aku beliin," kata Bhumi, dengan niat untuk pergi keluar.

Namun, saat Bhumi bergegas mengambil tas selempangnya di dekat kasur, Yicel menahan tangan Bhumi dengan erat, seolah nggak mau Bhumi pergi.

Bhumi yang merasa tangannya ditahan, seolah mengerti bahwa yang lebih muda nggak mau ditinggal pergi barang sejenak. "Cuma ke apotek seberang aja kok, janji nggak akan lama," kata Bhumi, berusaha menenangkan Yicel.

Yicel menggelengkan kepala, wajahnya tampak cemas dan sedikit kesal. "Beli online aja, emang nggak bisa?" tanya Yicel, merasa sedikit frustasi dengan kepergian Bhumi.

Bhumi berpikir sejenak. "Nanti nyampenya lama kalau lewat online," jawab Bhumi, sambil mencoba meyakinkan Yicel. "Beneran, cuma sebentar aja. Habis beli obat, Mas langsung balik lagi. Janji nggak mampir ke mana-mana, ya?"

Yicel akhirnya sedikit pasrah. Karena kalau dipikir-pikir lagi, benar juga soal estimasi waktu pengiriman obat via online yang akan sedikit lebih lama dibanding beli langsung di apotek seberang.

Bhumi kemudian pergi ke apotek, dan setelah beberapa saat, ia kembali dengan obat flu yang dibutuhkan, berharap bisa segera membuat Yicel merasa lebih baik.