Melebur Dalam Senyap Dekapannya

Sep 30, 2024

Malam itu Jerome duduk di ruang tunggu ICU. Badannya terasa lemas, pikirannya melayang-layang di antara ketakutan, harapan, dan kenangan. Waktu terasa berjalan begitu lambat. Jam di dinding seakan berhenti berputar. Dia sudah nggak ingat kapan terakhir kali tidur nyenyak. Yang dia tahu cuma, Kafka di ruang ICU sedang berjuang. Dia di luar sini, berjuang juga. Berjuang menahan tangis, berjuang menenangkan hatinya yang mulai hancur. Setiap hari Jerome hanya bisa ketemu Kafka dua kali, di jam-jam kunjungan yang sangat terbatas: satu jam di pagi hari, dan satu jam lagi di sore hari. Itu pun rasanya masih kurang, karena Jerome ingin terus ada di samping Kafka.

Dari kejauhan, seorang perawat datang menghampirinya. "Keluarga Tuan Kafka?" suara si perawat terdengar pelan, tapi cukup untuk bikin jantung Jerome berdebar kencang. "Kami butuh Anda untuk masuk ke dalam sekarang."

Jerome langsung berdiri, dadanya terasa sesak. Bukan jam besuk. Ini bukan waktunya. "Kenapa? Kafka kenapa?" tanyanya dengan suara serak. Perawat nggak langsung menjawab, cuma mengangguk kecil, seakan memberi sinyal bahwa ini memang saat yang genting. Jerome nyaris tersandung langkahnya sendiri saat bergegas mengikuti si perawat.

Begitu sampai di ruang ICU, Jerome lihat tubuh Kafka yang terbaring tak sadarkan diri. Bunyi panjang dari monitor membuat dadanya terasa seakan terhantam palu. Itu bunyi yang paling ditakutinya. Suara itu… oh Tuhan, jangan sekarang, jangan dulu.

Dia berdiri di samping ranjang, matanya terpaku pada wajah Kafka yang pucat. "Sayang..." Jerome bisik, suaranya hampir nggak keluar. Tapi Kafka nggak bergerak sedikit pun.

Dokter mendekati Jerome, suaranya pelan tapi tegas, "Bapak, bisa tolong dihubungi anak-anaknya. Itu yang tadi diminta Tuan Kafka sebelum kondisinya makin memburuk."

Jerome tercekat. Kepalanya terasa berat, napasnya makin sulit ditarik. Perlahan, dia mengangguk, meskipun hatinya menolak kenyataan itu. "Aku nggak siap..." lirihnya, tanpa sadar air matanya mulai menetes. Di tengah kegelisahannya, dia semakin mendekati Kafka, berusaha menerima kenyataan yang menghantamnya bertubi-tubi. Air mata jatuh tanpa bisa dibendung saat dia menggenggam tangan Kafka yang dingin. Jerome tahu, waktunya sudah hampir habis.

Lama Jerome terdiam, tenggelam dalam pikirannya sendiri. Sampai perlahan, Kafka menarik napas terakhirnya. Nafas yang panjang, tenang. Jerome membeku. Dia nggak sanggup bergerak, cuma bisa berdiri menatap Kafka yang kini benar-benar sudah pergi. Jerome cium keningnya sekali lagi, air mata mengalir deras. Hatinya hancur. "Makasih banyak udah nemenin aku dari dulu sampe sekarang. Dari rambut kita masih sama-sama hitam sampai sama-sama memutih," bisik Jerome dengan suara gemetar, meskipun dia tahu Kafka nggak lagi bisa mendengar.

Waktu seakan berhenti. Jerome merasakan kesunyian yang begitu menghimpit. Tapi anehnya, di tengah rasa kehilangan yang begitu besar, ada perasaan damai. Kafka pergi dengan tenang, dan Jerome bersyukur bisa menemani suaminya sampai akhir.

Tapi... tunggu dulu. Sesuatu terasa janggal.

Jerome terbangun dengan keringat dingin membasahi keningnya. Matanya terbuka lebar, dada masih berdebar keras. Dia duduk di tempat tidur, mengatur napas yang tersengal-sengal. "Mimpi..." gumamnya, mencoba mencerna apa yang baru saja terjadi.

Di sebelahnya, Kafka masih tidur nyenyak, napasnya terdengar teratur. Jerome langsung menoleh ke arah suaminya, merasakan dadanya yang sempat begitu sesak kini perlahan lega. Dia menyentuh lengan Kafka dengan hati-hati, memastikan bahwa ini nyata, Kafka masih di sini, di sampingnya, masih bernapas.

Tanpa sadar, air mata mengalir lagi. Tapi kali ini bukan karena sedih atau takut. Ini air mata syukur. Syukur karena mimpi itu hanya mimpi, dan Kafka masih ada di sisinya. "Terima kasih, Tuhan...," bisik Jerome, sambil merapatkan selimut ke tubuh Kafka, berharap suaminya tetap hangat dan sehat. Kemudian diciumnya kening Kafka sebelum dibawa ke dalam rengkuhan lelap malam yang akan selalu menjadi malam traumatis bagi Jerome.

Itu semua cuma mimpi. Mimpi buruk. Jerome memejamkan mata, hatinya bergetar. Dia bersyukur, sangat bersyukur.


Kafka lihat wajah Jerome yang kelihatan capek banget. Matanya kayak ada beban yang nggak kelihatan, tapi jelas bikin dia menderita. Dia terdiam mendengar ceritanya. Hatinya langsung ikutan ngilu. Bayangan tentang Jerome yang menunggu di luar ICU sambil melihat dia terbaring lemah bikin dadanya jadi sesak. Dia ngerti kenapa Jerome bisa sekhawatir itu. Mimpi buruk, apalagi yang kayak gitu, pasti nyiksa banget. Dia jadi ikut mellow, tangannya masih nggak lepas dari pelukan Jerome, Seolah memberi rasa tenang meski sekarang pikirannya juga ikutan nelangsa. Pelan-pelan, Kafka usap punggung suaminya. "Terus?" bisik Kafka, matanya juga udah mulai berair. "Gimana rasanya pas kamu bangun dari mimpi itu?"

Jerome narik napas lagi, kali ini lebih berat. "Pas bangun... lega sih, karena kamu masih ada di sini. Tapi perasaan takutnya tuh nggak ilang-ilang, Kak. Kayak ada yang ngeganjel di hati, dan aku jadi kepikiran terus sepanjang hari. Sialnya lagi... aku takut buat ceritain ke kamu tadi, karena katanya mimpi buruk nggak boleh diceritain, kan?" Jerome senyum tipis, nyoba bercanda, tapi ketawa yang keluar lebih kayak usaha menahan kesedihan. "Makanya tadi aku mojokin kamu di chat, nyari pengalihan biar nggak kepikiran terus soal mimpi itu."

Kafka senyum tipis, antara mengerti sama merasa Jerome konyol juga. "Jadi cuma buat alihin rasa takut kamu sendiri?"

Jerome ngangguk pelan, mukanya keliatan agak malu sekarang, kayak anak kecil yang ketahuan habis melakukan hal bodoh. "Iya... maaf. Aku nggak tau harus ngelakuin apa lagi. Aku cuma nggak mau ngerasain takut sendirian, tapi juga nggak mau kamu tau kalo aku setakut itu." Suaranya semakin serak, nyaris patah.

Kafka ketawa kecil, meski mellow dan sedih, ada sesuatu yang hangat di hatinya. Dia angkat tangan Jerome, digenggam erat sambil menarik Jerome untuk lebih deket lagi, membawa kepala Jerome untuk merebah di dadanya. "Sayang, mimpi itu cuma mimpi. Perasaan takut kamu soal mimpi itu valid kok. Tapi..., Kamu nggak perlu takut. Aku di sini, aku sehat," ucap Kafka lembut, sambil mencoba menenangkan suaminya. "Aku juga takut sih, denger cerita kamu... Tapi kita nggak bisa terlalu dipengaruhi sama mimpi. Kita masih punya banyak waktu buat sama-sama. Aku nggak bakal ke mana-mana."

Jerome diem sebentar, Merasakan usapan tangan Kafka yang masih melingkar erat di belakang pundaknya. Dia lega, walaupun mimpi buruk itu masih menghantui pikirannya. Setidaknya sekarang dia udah cerita. "Aku cuma takut...," bisik Jerome sambil nahan air mata.

"Nggak apa-apa. Tapi lain kali, nggak boleh ya nyindir-nyindir nggak jelas di chat kayak tadi gitu. Yeeeeuuuu.... Lagian, mimpinya apa tapi sembarangan nuduhnya apa," Kafka masih setia usap lengan Jerome pelan sambil sesekali sisir rambut Jerome, berharap kalimatnya bisa menenangkan hati suaminya itu.

Jerome ketawa kecil, canggung, merasa sedikit lega. Tapi di balik lega itu, ada rasa takut yang belum hilang sepenuhnya. Makanya, tanpa sadar Jerome tanya lagi, suaranya nyaris berbisik, "Kamu beneran nggak bakal ninggalin aku, kan?"

Kafka langsung melongok ke arah Jerome, tatapannya lembut tapi serius. Dia nggak tahan liat Jerome segalau ini, apalagi cuma gara-gara mimpi. "Nggak lah, Jer. Susah tau nyari orang yang sama-sama mau diajak belajar kayak kamu. Kamu tuh udah paket lengkap banget buat aku," jawab Kafka sambil nyengir kecil, coba bikin suasana sedikit lebih santai.

Jerome cuma bisa senyum tipis. Pelan-pelan dia merasa beban di dadanya mulai terangkat, meski nggak sepenuhnya hilang. Dia tahu, selama ada Kafka, selama dia bisa terus peluk Kafka kayak gini, semuanya bakal baik-baik aja. "Janji ya," bisik Jerome sebelum akhirnya kembali bersandar di dada Kafka, ngedengerin detak jantung yang tenang.

Kafka cuma mengelus lembut rambut Jerome, merasakan hangat tubuh suaminya di pelukan. "Janji," Kafka balas pelan, tapi penuh keyakinan. "Terus, pendapat anda tentang rambut saya gimana, Pak?"

"Biasa aja," jawab Jerome dengan nada malas.

Setelahnya, Kafka merasa pelukan Jerome semakin erat. Dan, Seharian itu tubuh Jerome benar-benar melebur dalam senyap dekapannya.