Ngobrol sama Papi

Aug 5, 2024

Di sebuah kota kecil yang tenang, hiduplah seorang remaja bernama Dina dan ibunya, Ibu Rina. Sejak ayah Dina meninggal beberapa tahun lalu, hubungan antara Dina dan ibunya menjadi renggang. Ibu Rina bekerja keras sebagai perawat, sering pulang larut malam, sementara Dina merasa sendirian dan kesepian, menghabiskan sebagian besar waktunya dengan teman-temannya atau di dunia maya.

Satu malam, Dina dan ibunya terlibat dalam pertengkaran besar. Dina merasa bahwa ibunya tidak pernah ada untuknya, sementara Ibu Rina merasa Dina tidak menghargai segala pengorbanannya. Kata-kata tajam dan perasaan terluka menggantung di udara, memisahkan mereka lebih jauh.

Setelah pertengkaran itu, Dina merasa bersalah dan bingung. Dia menyadari bahwa meskipun ibunya sering tidak ada di rumah, ia bekerja keras demi masa depan mereka. Dina ingat bagaimana ibunya dulu selalu menyanyikan lagu pengantar tidur ketika dia masih kecil, sebuah lagu yang penuh cinta dan harapan. Salah satunya adalah "Pelukku Sementara, Hatiku Selamanya," sebuah lagu yang selalu mengingatkannya pada kehangatan pelukan ibunya.

Di sisi lain, Ibu Rina duduk sendirian di ruang tamu setelah Dina pergi ke kamarnya. Ia menyadari betapa renggangnya hubungan mereka dan merindukan saat-saat ketika Dina kecil akan melompat ke pelukannya sepulang kerja, penuh cerita dan tawa. Ia tahu bahwa mereka perlu memperbaiki hubungan mereka sebelum semuanya terlambat.

Suatu hari, Dina menemukan kotak kenangan di lemari yang berisi foto-foto lama dan kaset rekaman saat-saat indah bersama keluarganya. Di antara barang-barang itu, Dina menemukan sepucuk surat dari ayahnya, ditujukan kepadanya dan ibunya. Surat itu mengingatkan Dina betapa pentingnya keluarga dan kasih sayang yang tulus.

Dengan hati yang terbuka, Dina mendatangi ibunya yang sedang duduk di ruang tamu. Tanpa berkata-kata, Dina memberikan surat itu kepada ibunya. Ibu Rina membaca surat tersebut dengan mata yang berkaca-kaca. Mereka berdua terdiam sejenak, saling memandang, dan akhirnya Dina berbisik, "Bu, aku rindu."

Ibu Rina menarik Dina ke dalam pelukannya, air mata mengalir di pipi mereka. "Pelukan ini mungkin sementara, tapi hatiku selamanya untukmu, Nak," bisik Ibu Rina lembut.

Dina memeluk ibunya lebih erat, merasakan cinta dan pengertian yang mulai mengisi celah di antara mereka. Mereka berjanji untuk lebih saling memahami dan meluangkan waktu bersama, mengisi hari-hari dengan tawa dan cerita seperti dulu.

Dalam keheningan malam itu, di bawah langit berbintang, mereka tahu bahwa cinta sejati tidak pernah pudar. Meskipun sempat renggang, hati mereka akan selalu terikat satu sama lain, selamanya.

Di sebuah desa yang tenang, di antara hamparan sawah hijau dan pepohonan rindang, hiduplah seorang ayah bernama Pak Budi dan putrinya, Lila. Sejak kecil, Lila selalu dekat dengan ayahnya. Pak Budi sering bercerita bagaimana saat pertama kali ia menggenggam kelingking kecil Lila, hatinya melembut seketika. Senyuman Lila selalu menjadi tujuan hidupnya, dan Pak Budi berjanji akan selalu ada untuknya.

Namun, ketika Lila beranjak remaja, hubungan mereka mulai merenggang. Lila merasa bahwa ayahnya terlalu protektif, sementara Pak Budi merasa kesulitan memahami dunia remaja yang kini dihadapi putrinya. Pertengkaran kecil sering kali berubah menjadi keheningan yang panjang. Mereka berdua merindukan kebersamaan yang dulu, tetapi ego dan kesibukan sehari-hari membuat jarak di antara mereka semakin lebar.

Suatu hari, Lila mengalami kejadian yang membuatnya merasa terjatuh. Di sekolah, ia gagal dalam ujian yang sangat penting baginya. Dengan hati yang sedih, ia pulang ke rumah, berharap mendapatkan tempat berlindung yang aman. Namun, rasa canggung dan jarak yang ada membuat Lila ragu untuk berbicara dengan ayahnya.

Di sisi lain, Pak Budi, yang baru pulang dari bekerja seharian, merasa ada yang berbeda dari Lila. Ia melihat kesedihan di mata putrinya, tapi tidak tahu bagaimana memulai percakapan. Ia teringat akan masa kecil Lila, saat ia akan datang berlari memeluknya dan mengeluh tentang hari-harinya. Pak Budi sadar, ia harus menjadi pilar kuat bagi putrinya.

Sore itu, Pak Budi duduk di ruang tamu sambil memandangi foto-foto Lila saat masih kecil. Hatinya penuh rasa rindu dan penyesalan. Akhirnya, ia memutuskan untuk mendekati Lila yang sedang duduk di teras belakang, menatap langit yang mulai gelap.

"Dek, kamu tahu nggak, dari dulu sampai sekarang, Ayah bangga jadi ayahmu," ujar Pak Budi pelan.

Lila menoleh, matanya berkaca-kaca. "Aku juga bangga jadi anak Ayah," jawabnya lirih. "Maaf, aku sering membuat Ayah khawatir."

Pak Budi tersenyum, lalu merangkul Lila. "Pelukan Ayah mungkin hanya sementara, tapi simpanlah hati Ayah selamanya. Ayah akan selalu ada untukmu, meski terkadang kita berbeda pandangan."

Lila memeluk ayahnya erat, merasakan kehangatan dan cinta yang pernah hilang kembali hadir. "Ayah adalah tempat teraman di dunia untukku. Aku akan selalu menyimpan hati Ayah di hatiku," kata Lila, berusaha menahan air mata harunya.

Sejak saat itu, Lila dan Pak Budi berjanji untuk lebih saling mendengarkan dan memahami. Mereka tahu bahwa hubungan antara ayah dan anak tidak selalu mudah, tapi cinta yang tulus akan selalu menjadi jembatan yang menghubungkan mereka.

Dalam keheningan malam yang dihiasi bintang, mereka merasa lebih dekat dari sebelumnya, meyakini bahwa meskipun pelukan mungkin sementara, cinta di antara mereka akan selalu abadi, selamanya.